Terdampak Tarif Trump, Industri Tekstil Berharap Investasi dari Relokasi Pabrik Cina

4 hours ago 8

TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI) menyatakan kondisi industri tekstil sedang mengalami kesulitan akibat penerapan tarif impor Presiden Amerika Serikat Donald Trump. “Ekspornya susah, domestiknya juga susah,” ujar Ketua Umum APSYFI Redma Gita Wiraswasta, saat dihubungi, pada Senin, 5 Mei 2025.

Redma mengatakan persentase ekspor produk tekstil ke Amerika Serikat mencapai 60 persen. Kendati demikian, pemberlakuan tarif impor hingga 47 persen membuat pelaku industri kewalahan. Selain itu, Redma juga mengkhawatirkan Indonesia akan kebanjiran produk impor dari Cina. “Pasca-tarif Trump kan Cina akan mencari market, yang paling gampang kan Indonesia,” ujar dia. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia juga menyoroti penurunan Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia dan Indeks Kepercayaan Industri (IKI). Indeks Manufaktur Indonesia pada April 2025 turun ke level 46,7 atau zona kontraksi. Sementara IKI turun ke level 51,9 persen pada April ini. Penurunan dua indeks itu, kata Redma, akan menciptakan tantangan yang lebih besar terhadap industri tekstil. “Dua-duanya juga turun artinya tantangan ke depannya lebih besar.”

Kendati menemui sejumlah tantangan, Redma melihat ada peluang dari ketegangan perang dagang. Ia mengatakan, selain mengubah peta perdagangan, tarif Trump juga akan menggeser peta investasi. “Makanya banyak beberapa pabrik Cina atau Taiwan yang datang ke sini, investasi di sini,” kata dia. 

Ia optimistis relokasi pabrik dari Cina bisa menggerakkan pertumbuhan industri tekstil. “Jadi misal yang masuk pabrik kain, industri benang akan mulai jalan lagi.” Selain itu, relokasi pabrik juga diyakini bisa menyerap tenaga kerja dari para mantan karyawan industri tekstil yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). “Kelihatannya pertumbuhan industri tekstil akan didorong investasi,” tutur dia. Redma mengatakan meskipun produksi dan ekspor tekstil sedang menurun, industri tekstil akan bergantung dengan investasi dari relokasi dan reaktivasi pabrik. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan saat ini produk tekstil dan garmen Indonesia dikenakan tarif impor di Amerika Serikat yang bisa mencapai 47 persen, jauh lebih tinggi dari sebelumnya yang hanya berada pada kisaran 10 hingga 37 persen. “Dengan diberlakukannya tambahan bea masuk sebesar 10 persen, maka tarifnya menjadi 10 persen ditambah 10 persen, atau 37 persen ditambah 10 persen. Sehingga tarif total bisa mencapai 47 persen,” ujar Airlangga.

Kenaikan tarif tersebut, menurut Airlangga Hartarto, merupakan dampak langsung dari kebijakan tambahan bea masuk sebesar 10 persen yang diberlakukan oleh pemerintah Amerika Serikat. Tambahan bea masuk ini disebut sebagai bagian dari kebijakan tarif yang diwarisi dan diperpanjang dari masa pemerintahan Presiden Donald Trump, yang hingga kini masih memberikan pengaruh terhadap pola perdagangan antara kedua negara.

Ia juga menekankan bahwa kebijakan ini memiliki dampak signifikan terhadap daya saing produk ekspor Indonesia di pasar Amerika Serikat. Biaya tambahan yang timbul dari kebijakan tarif tersebut dinilai menambah beban para eksportir Indonesia, terutama karena pembeli dari Amerika meminta agar biaya tambahan tersebut turut dibagi bersama dengan eksportir, bukan ditanggung sepenuhnya oleh pihak pembeli.


Michelle Gabriela berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |