TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan ini, media sosial dibanjiri oleh potongan-potongan adegan dramatis dari drama Cina. Durasi tayangan ini berkisar antara 5 hingga 10 menit, cukup untuk membangun tensi dan menggiring rasa penasaran. Mulai dari konflik emosional hingga kisah cinta berbalut intrik, iklan-iklan tersebut muncul di media sosial seperti Instagram, TikTok, X, YouTube Shorts. Muaranya, penonton akan terdorong mengunduh layanan streaming atau Over The Top (OTT) seperti Dramabox, Flex TV, ReelShort, ShortMax, GoodShort, dan sederet aplikasi lainnya untuk menonton kelanjutan cerita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa sadar, penonton terjebak dalam cerita. Saat iklan berakhir di momen klimaks, satu-satunya cara untuk mengetahui kelanjutannya adalah dengan mengunduh aplikasi dan berlangganan. Strategi pemasaran ini terbukti berhasil, menarik banyak orang dari berbagai kalangan untuk menghabiskan waktu dan uang demi mengetahui kelanjutan kisahnya.
Kesaksian Penonton yang Kecanduan Iklan Drama Cina
Komedian Deddy Mahendra Desta jadi salah satu pesohor yang mengaku kecanduan menonton drama Cina, meskipun ia sendiri menyebut kualitas aktingnya kurang memuaskan. Dalam kanal YouTube VINDES yang tayang pada Senin, 27 Januari 2025, Desta bercerita bahwa ia sampai rela membayar demi menyaksikan setiap episode.
"Gue sampai beli loh, series-series yang aktingnya jelek banget. Cuman ceritanya standar, tapi kok pengen tahu terus gitu," ujarnya. Ayah tiga anak itu bahkan membagikan alur cerita beberapa drama Cina yang ditontonnya. Mulai dari kisah kasim kerajaan hingga kisah hidup seorang CEO. "Yang CEO itu, dia dulu kaya banget, terus tabrakan, hilang ingatan, menghilang lama. Eh, terus ngelamar ke perusahaannya sendiri jadi cleaning service. Seru banget, deh!" kata dia.
Tak hanya pesohor, banyak penonton yang tanpa sadar terseret dalam alur drama Cina berkat iklan-iklan panjang di media sosial. Bagi Virty, 51 tahun, seorang ibu rumah tangga di Depok, menonton drama Cina di TikTok sudah menjadi kebiasaan selama setahun terakhir. "Karena ceritanya singkat tapi nggak bersambung terlalu banyak," tuturnya. Ia mengaku tak perlu sampai berlangganan karena sudah cukup dengan menonton di akun-akun di media sosial yang diikutinya.
Sementara itu, Intan, 25 tahun, karyawan swasta asal Bekasi, merasakan betul bagaimana drama Cina tiba-tiba membanjiri media sosialnya. "Kayaknya karena iklannya masif banget di berbagai medsos," ucapnya. Ia lebih sering menonton di TikTok dan Instagram Reels karena video tersebut selalu muncul di laman for your page (FYP). Walaupun sadar bahwa ceritanya biasa saja, Intan mengakui bahwa drama Cina memiliki daya tarik tersendiri. "Seru sih, bikin penasaran. Kadang nggak sadar bisa berjam-jam buka TikTok gara-gara ini," ujarnya.
Penjelasan Psikologis Soal Kecanduan Konten Drama Cina
Efnie Indrianie, Psikolog Universitas Kristen Maranatha Bandung menjelaskan bahwa iklan-iklan drama Cina tersebut, yang terasa tidak masuk akal bagi sebagian orang sebenarnya tetap memiliki daya tarik tersendiri. Ia menilai, unsur kekerasan dan adegan dramatis yang berlebihan dalam tayangan tersebut bisa membangkitkan sisi afeksi penonton, meski tidak selalu disadari.
"Perilaku agresif memang merupakan salah satu ciri khas manusia. Tanpa disadari, tayangan-tayangan itu memberikan sisi afeksi, yang membuat seseorang senang menonton, penasaran, lalu ingin lagi dan lagi," kata Efnie kepada Tempo, Sabtu, 8 Februari 2025. Ia menambahkan bahwa keterikatan emosional ini bisa membuat seseorang terus mencari pengalaman serupa tanpa sadar.