Tiga Warga Palestina Tewas Ditembak Israel Dekat Pusat Bantuan di Gaza

1 day ago 17

TEMPO.CO, Jakarta - Tiga warga Palestina ditembak mati oleh tentara Israel sementara puluhan lainnya terluka dekat pusat distribusi bantuan yang dikelola tim kontraktor keamanan Amerika Serikat kontroversial di Gaza selatan pada Selasa.

Media Palestina Al Aqsa seeprti dikutip Antara melaporkan bahwa ketiganya ditembak mati tentara Israel dan 46 lainnya terluka oleh peluru tajam di dekat pusat distribusi bantuan makanan, yang dioperasikan oleh perusahaan kontraktor keamanan Amerika di Rafah barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain kematian dan cedera, beberapa orang juga hilang dalam insiden tersebut, kata pejabat di Gaza. Hal ini terjadi di tengah kelaparan yang meluas dan pengeboman Israel yang tiada henti terhadap warga sipil Palestina, termasuk anak-anak.

"Pasukan pendudukan, yang ditempatkan di dalam atau di sekitar area tersebut, melepaskan tembakan langsung ke warga sipil yang kelaparan yang dipancing ke lokasi-lokasi ini dengan dalih menerima bantuan," kata Kantor Media Pemerintah Gaza dalam sebuah pernyataan seperti dilansir Aljazeera.

Mereka menambahkan bahwa insiden itu "memberikan bukti yang tak terbantahkan tentang kegagalan total pendudukan Israel dalam mengelola bencana kemanusiaan yang sengaja diciptakannya".

"Apa yang terjadi hari ini di Rafah adalah pembantaian yang disengaja dan kejahatan perang yang dilakukan dengan kejam terhadap warga sipil yang dilemahkan oleh lebih dari 90 hari kelaparan akibat pengepungan."

Namun, media Israel mengklaim bahwa tembakan itu untuk mengendalikan massa ketika terjadi kekacauan. Ini saat ribuan warga Palestina bergegas ke pusat distribusi bantuan kemanusiaan di Rafah, pada hari pertama operasi yang merupakan bagian dari mekanisme distribusi bantuan baru yang dipaksakan oleh AS dan Israel.

Media Israel juga menuduh Hamas berupaya memblokade penduduk Gaza menuju pusat distribusi bantuan kemanusiaan, yang disangkal otoritas Gaza.

Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF) yang didukung AS mulai beroperasi pada Senin untuk melakukan mekanisme distribusi bantuan baru dengan pantauan langsung Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Hal ini untuk memastikan keamanan di area tempat bantuan akan dibagikan.

Dengan mekanisme tersebut, GHF akan bertanggung jawab atas transportasi dan logistik, sementara organisasi kemanusiaan internasional yang beroperasi di Jalur Gaza akan mendistribusikan bantuan langsung kepada penduduk, demikian klaim kantor kepala otoritas Israel Benjamin Netanyahu.

Di tengah teriknya siang  pada Selasa, ribuan warga Palestina memanjat pagar dan menerobos kerumunan yang berdesakan untuk mencapai perlengkapan penyelamat yang dibawa GHF.

Di tengah hiruk-pikuk helikopter militer Israel di atas kepala dan suara tembakan di latar belakang, kerumunan orang yang putus asa, termasuk wanita dan anak-anak, di wilayah Rafah, Gaza selatan berjuang untuk mencapai titik distribusi makanan pada hari pertama operasi GHF.

“Kami telah sekarat karena kelaparan. Kami harus memberi makan anak-anak kami yang ingin makan. Apa lagi yang bisa kami lakukan? Saya bisa melakukan apa saja untuk memberi mereka makan,” kata seorang ayah Palestina kepada Aljazeera.

“Kami melihat orang-orang berlarian, dan kami mengikuti mereka, meskipun itu berarti mengambil risiko, dan itu menakutkan. Namun, ketakutan tidak lebih buruk daripada kelaparan.”

Bantuan oleh GHF, sebuah yayasan yang didukung oleh AS dan didukung oleh Israel, tiba di Gaza meskipun kelompok baru tersebut tidak memiliki pengalaman atau kapasitas untuk memberikan bantuan kepada lebih dari 2 juta warga Palestina di Gaza.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan kelompok-kelompok bantuan internasional menegaskan organisasi tersebut tidak mematuhi prinsip-prinsip kemanusiaan dan dapat semakin menggusur orang-orang dari rumah mereka saat warga Palestina pindah untuk menerima bantuan dari sejumlah lokasi distribusi yang terbatas.

Juru bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan bahwa melihat ribuan warga Palestina menyerbu lokasi bantuan itu "menyedihkan".

"Kami dan mitra kami memiliki rencana yang terperinci, berprinsip, dan operasional yang baik yang didukung oleh negara-negara anggota untuk menyalurkan bantuan kepada populasi yang putus asa," katanya kepada wartawan.

"Kami terus menekankan bahwa peningkatan operasi kemanusiaan yang berarti sangat penting untuk mencegah kelaparan dan memenuhi kebutuhan semua warga sipil di mana pun mereka berada."

Kekacauan itu menggarisbawahi tingkat kelaparan mencengangkan yang melanda Gaza. Menurut laporan Klasifikasi Fase Keamanan Pangan Terpadu terbaru, 1,95 juta orang – 93 persen dari populasi daerah kantong itu – menghadapi kekurangan pangan akut.

Kelompok-kelompok bantuan internasional telah memperingatkan selama berbulan-bulan bahwa Israel menggunakan kelaparan di Gaza sebagai senjata perang.

“Ini bukan cara pemberian bantuan,” kata Ahmed Bayram, juru bicara Dewan Pengungsi Norwegia, kepada Aljazeera, yang menggambarkan situasi di Rafah sebagai “konsekuensi yang tak terelakkan dari rencana yang sembrono dan tidak manusiawi”.

“Ini adalah situasi yang telah kami peringatkan sepanjang bulan ini. Ini menyebarkan kekacauan. Ini menyebarkan kebingungan. Dan inilah hasilnya,” katanya.

“Saya pikir hal terbaik yang dapat dilakukan sekarang adalah membatalkan rencana ini, membalikkannya, dan membiarkan kami, para pekerja kemanusiaan profesional di PBB dan LSM, melakukan tugas kami. Ada berton-ton bantuan yang menunggu di seberang perbatasan. [Ini] keputusan yang sangat sederhana: membuka gerbang dan membiarkannya tetap terbuka.”

Israel menjadikan GHF, sebuah badan yang berkantor pusat di Swiss yang dibentuk pada Februari melalui pertemuan-pertemuan rahasia antara pejabat yang terkait dengan Israel dan tokoh-tokoh bisnis, sebagai distributor utama bantuan.

Sementara itu, Israel telah memblokir PBB dan organisasi-organisasi internasional lainnya untuk membawa bantuan.

Meskipun dipromosikan sebagai badan yang netral, hubungan dekat GHF dengan Israel dan AS telah memicu kecaman yang meluas.

Mantan pimpinan GHF, Jake Wood, tiba-tiba mengundurkan diri pekan ini. Mantan penembak jitu marinir Amerika Serikat itu mengatakan alasan pengunduran dirinya karena ketidakmampuan yayasan tersebut untuk menegakkan prinsip-prinsip inti kemanusiaan yaitu "netralitas, imparsialitas, dan independensi".

Menurut sebuah laporan di The New York Times, GHF muncul dari "pertemuan-pertemuan pribadi para pejabat yang berpikiran sama, perwira militer, dan pebisnis yang memiliki hubungan dekat dengan pemerintah Israel".

Israel mengatakan pasukannya tidak terlibat dalam distribusi bantuan secara fisik, meskipun mendukung penggunaan sistem pemeriksaan biometrik, termasuk pengenalan wajah, untuk memeriksa penerima bantuan.

Palestina khawatir itu adalah alat pengawasan dan penindasan Israel lainnya.

Para kritikus juga memperingatkan bahwa struktur GHF – dan konsentrasi bantuannya di Gaza selatan – dapat berfungsi untuk mengurangi jumlah penduduk di Gaza utara, seperti yang direncanakan oleh militer Israel.

Sementara jaringan distribusi yang dipimpin PBB sebelumnya mengoperasikan sekitar 400 lokasi di seluruh Jalur Gaza, GHF hanya mendirikan empat "lokasi mega" untuk 2,3 juta penduduk Gaza.

Di Deir el-Balah di Gaza tengah, Hind Khoudary dari Al Jazeera melaporkan bahwa banyak paket makanan yang dibagikan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Khoudary menggambarkan kotak makanan biasa berisi 4 kg tepung, beberapa kantong pasta, dua kaleng kacang fava, sebungkus kantong teh, dan beberapa biskuit. Paket makanan lainnya berisi lentil dan sup dalam jumlah kecil.

Meskipun GHF mengatakan telah mendistribusikan sekitar 8.000 kotak makanan pada Selasa, yang diklaim berjumlah 462.000 makanan, Khoudary mengatakan jatah tersebut hampir tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga dalam waktu lama.

"Ini jelas tidak cukup, dan tidak cukup untuk semua penghinaan yang dialami warga Palestina saat menerima paket makanan ini," katanya.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |