100 Hari Prabowo-Gibran, PUSHAM UII: HAM Indonesia Suram

4 hours ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) menilai selama 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, performa hak asasi manusia tidak menunjukkan progres signifikan. Pemerintahan yang dilantik sejak 20 Oktober 2024 itu belum terlihat keseriusannya dalam mengurusi hak asasi manusia (HAM).

Hasil penelitian PUSHAM UII menunjukkan bahwa skor indikator untuk performa hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran hanya berkisar 0,1 dari skala 0 sampai 1. Itu menandakan orientasi hak asasi manusia yang sangat lemah dari peraturan perundang-undangan yang disahkan dalam 100 hari pertama. Peraturan perundang-undangan pada 100 hari 
pertama juga ditemukan tertutup pada keberadaan hukum hak asasi manusia. 

Peneliti PUSHAM UII, Heronimus Heron, mengatakan terdapat dua alasan yang membuat kajian ini relevan. “Pertama, Presiden Prabowo saat pelantikan pada 20 Oktober 2024 tidak menyebutkan satu kata pun tentang hak asasi manusia. Kedua, performa hak asasi manusia Indonesia dinilai menurun selama tiga tahun terakhir," kata Heron dalam keterangan resminya, Sabtu, 1 Februari 2025. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Catatan PUSHAM UII, hingga 28 Januari 2025 atau tepat di 100 hari Prabowo - Gibran, ada 155 peraturan perundang-undangan yang disahkan. Namun, orientasi HAM dalam setiap aturan itu sangat lemah. 

Heron mengatakan, salah satu bentuk pelemahan hak dalam peraturan perundangan-undangan adalah pengakuan hak masyarakat adat. "Pengakuan hak-hak masyarakat adat dalam undang-undang penetapan provinsi, kabupaten, dan kota tidak berbasis pada kepemilikan hak masyarakat adat," kata Heron. 

Sehingga, kata Heron, penggunaan frasa melindungi  segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum hanyalah klise. 

Peneliti PUSHAM UII yang lain, Sahid Hadi mengatakan, dari segi performa hak asasi manusia, peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran memperlakukan hak asasi manusia sebagai elemen minoritas.  "Tentu saja, ini bukan merupakan langkah yang baik untuk masa depan hak asasi manusia di Indonesia," katanya. 

Sahid mengatakan, peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran juga memungkinkan terjadinya eksklusi bidang hak asasi manusia dari bidang-bidang lain seperti investasi dan bisnis, perdagangan, kehutanan, dan lain-lain. "Padahal, hak asasi manusia seharusnya menjadi jiwa dan pemandu di segala bidang dalam urusan pemerintahan, termasuk pemerintahan Prabowo-Gibran," katanya. 

Pemerintahan Prabowo-Gibran perlu memperbaiki cara memperlakukan HAM dalam peraturan perundang-undangan yang dihasilkan, yaitu dengan menginkorporasikan hak asasi manusia dan hukum hak asasi manusia secara formal dan eksplisit di setiap unsur peraturan perundangundangan. 

Peneliti PUSHAM UII, Vania Lutfi Safira Erlangga, mengatakan, terdapat juga pernyataan eksplisit tentang pembangunan yang dilakukan secara berkelanjutan dalam undang-undang tentang penetapan kabupaten dan kota. Namun, penggunaan istilah keberlanjutan seringkali digunakan oleh Pemerintah untuk menguntungkan kepentingan sesaat. "Kepentingan itu seringkali mengorbankan keberlanjutan pemenuhan kebutuhan masa sekarang dan keberlanjutan lingkungan hidup di masa depan," katanya.

Pilihan Editor: Kades Kohod Arsin, dari Makelar Tanah Jadi Kades Tajir dan Punya Paspamdes

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |