TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pekerja Pemilihan Anggota (BPPA) Dewan Pers menunjuk sembilan anggota Dewan Pers periode 2025-2028, di Jakarta, Selasa, 4 Maret 2025 yang terdiri dari unsur wartawan, unsur pimpinan perusahaan pers, dan unsur tokoh masyarakat.
Dilansir dari Antara, Dewan Pers secara aklamasi menyetujui sembilan anggota Dewan Pers periode 2025-2028 yang telah dipilih BPPA sekaligus membubarkan BPPA. Ninik atas nama Dewan Pers menyampaikan ucapan terima kasih kepada BPPA yang telah bekerja dengan baik yang menjalankan tugas sejak Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum memilih sembilan anggota Dewan Pers, pada 19 Februari 2025, BPPA menyeleksi para pelamar menjadi 18 calon yang mewakili tiga unsur, yakni unsur wartawan, pimpinan perusahaan pers, dan tokoh masyarakat, yang masing-masing diwakili oleh enam calon.
Selanjutnya, sembilan nama anggota Dewan Pers periode 2025-2028 yang sudah terpilih tersebut akan diajukan ke Sekretariat Negara untuk ditetapkan dalam Surat Keputusan Presiden. Untuk serah terima jabatan anggota Dewan Pers rencananya akan dilakukan pada pertengahan Mei 2025.
Anggota Dewan Pers 2025-2028 dari unsur wartawan di antaranya Abdul Manan, Maha Eka Swasta, Muhammad Jazuli. Kemudian, dari unsur pimpinan perusahaan pers, ada Dahlan Dahi, Totok Suryanto, serta Yogi Hadi Ismanto.
Selain dari unsur pers, BPPA juga menunjuk sejumlah nama dari unsur tokoh masyarakat seperti Komaruddin Hidayat, M Busyro Muqoddas, dan Rosarita Niken Widiastuti. Berikut simak profil ketiga perwakilan dari unsur tokoh masyarakat yang ditunjuk BPPA menjadi anggota Dewan Pers.
1. Komaruddin Hidayat
Dilansir dari laman Pusat Pengkajian Islam & Masyarakat UIN Jakarta, Komaruddin Hidayat lahir di Magelang, Jawa Tengah, pada 18 Oktober 1953, dia adalah Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk dua periode masa jabatan, 2006-2010 dan 2010-2015. Selain sebagai akademisi, ia juga menjadi penulis kolom di beberapa media massa. Kemampuan intelektualitasnya ia tunjukkan dengan menjadi peneliti di beberapa lembaga kajian dan penelitian.
Sejak kecil Komaruddin dekat dengan dunia Islam utamanya pesantren. Komarudin merupakan Alumni pesantren modern Pabelan, Magelang (1969) dan Pesantren al-Iman, Muntilan (1971). Setelah lulus dari pesantren, ia melanjutkan studi sarjana muda (BA) di bidang Pendidikan Islam (1977) dan sarjana lengkap (Drs.) di bidang Pendidikan Islam (1981) di IAIN Jakarta.
Komaruddin melanjutkan studi doktoral ke luar negeri. Ia Meraih doktor di bidang Filsafat Barat di Middle East Techical University, Ankara, Turki (1990). Komaruddin merupakan kolumnis di beberapa media massa seperti Harian Kompas dan Seputar Indonesia dan Republika. Selaku akademisi, Komar menjadi Dosen pada Fakultas Pasca Sarjana IAIN Jakarta (sejak 1990), dosen pada Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia (sejak 1992), dosen Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara (sejak 1993).
Selain sebagai dosen, ia juga sebagai Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur`an (sejak 1991), Dewan Redaksi Jurnal Studia Islamika (sejak 1994), Dewan Editor dalam penulisan Encylopedia of Islamic World, dan Direktur pada Pusat Kajian Pengembangan Islam Kontemporer, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sejak 1995).
2. M. Busyro Muqoddas
M. Busyro Muqoddas lahir di Yogyakarta, 17 Juli 1952. Pria yang akrab disapa Mas Bus ini sebelumnya adalah ketua sekaligus anggota Komisi Yudisial RI periode 2005-2010. Dikutip dari mpi.uny.ac.id, Busyro pernah menjadi pengurus Muhammadiyah, baik di pimpinan tingkat ranting hingga pusat.
Busyro menyelesaikan studi Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta pada 1977. Selama masa kuliah, ia menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (MPM UII).
Setelah itu, ia mengabdi sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) dan pernah menjabat sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum UII dari 1986 hingga 1988, serta Pembantu Dekan I hingga 1990. Gelar Magister Hukum diperolehnya dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada 1995.
Sementara itu, karier hukum Busyro dimulai pada 1983 sebagai Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Dari 1995 hingga 1998, ia menjabat sebagai Ketua Pusdiklat dan LKBH Laboratorium Fakultas Hukum UII. Selain itu, Busyro juga aktif sebagai advokat pro bono.
Busyro menangani beberapa kasus besar di tingkat nasional, seperti kasus penembakan misterius (Petrus), Komando Jihad, pemboman candi Borobudur, dan kasus kuningisasi yang menimpa Moedrick M Sangidoe, semua terjadi pada era Orde Baru (Orba).
Menjelang akhir Orba, ia mendampingi pedagang pasar tradisional dalam gugatan terhadap Bupati Wonosobo, dan di awal Reformasi, ia menangani kasus Mozes Gatotkaca, korban tewas akibat kekerasan aparat dalam demonstrasi di Yogyakarta.
Mantan Ketua KPK ini juga dikenal sebagai penentang paling keras terhadap tawaran izin tambang atau izin usaha pertambangan (IUP) dari pemerintah. Menurut Koran Tempo edisi 30 Juli 2024 berjudul "Malapetaka Tambang Batu Bara", Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini memperingatkan koleganya agar tidak terjebak dalam euforia kesuksesan pertambangan
3. Rosarita Niken Widiastuti
Rosarita Niken Widiastuti lahir di Yogyakarta, pada 30 Oktober 1960, seperti dilansir dari alumni.ugm.ac.id, perjalanan karier Niken dimulai sebagai penyiar, penulis naskah, dan pengarah acara sebelum akhirnya menjabat sebagai Direktur Program dan Produksi Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP-RRI) pada 2005-2009, dan Direktur Administrasi dan Keuangan LPP RRI pada 2009-2010.
Setelah itu, pada 2010-2015, lulusan S1 dan S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM tersebut menjadi Direktur Utama LPP-RRI dan tercatat sebagai perempuan pertama yang menduduki jabatan sebagai direktur utama.
Kontribusi Penerima Anugerah Perempuan Indonesia Majalah Woman Review 2013 dan International Woman of Change Dewan Kreatif Rakyat 2016 tersebut, dapat dilihat pada perannya dalam mencetuskan gagasan “Super Team” saat berada di LPP RRI.
Melalui konsep tersebut, Niken mengajak pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan organisasi perempuan untuk bersama membangun desa melalui ekonomi kerakyatan. Di samping itu, ia juga mendirikan perwakilan RRI luar negeri dan studio siaran di perbatasan. Melalui hal tersebut, diharapkan keutuhan dan kedaulatan Indonesia tetap terjaga.
Adapun pada 2019, dilansir dari Antara, Niken dilantik menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Kominfo oleh Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Rudiantara. Pelantikan yang dilaksanakan di Jakarta, Kamis, 31 Januari 2019 tersebut, merupakan bagian dari rotasi di jajaran pimpinan. Sebelumnya, Niken menjabat sebagai Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik di Kementerian Kominfo.
Sukma Kanthi Nurani, Ananda Ridho Sulistya, dan Shinta Maharani berkontribusi dalam penulisan artikel ini.