5 Fakta Putusan MK soal UU ITE: Lembaga Tak Bisa Laporkan Pencemaran Nama Baik

5 hours ago 10

TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa institusi negara, kelompok masyarakat, dan korporasi tidak lagi bisa menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk melaporkan seseorang.

Dikutip dari situs MKRI, putusan ini tertuang dalam amar Putusan Nomor 105/PUU-XXII/2024. Meski diklaim untuk memperjelas batas penerapan pasal, putusan ini tentu membawa implikasi besar, baik bagi individu maupun institusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk memahami lebih jauh dampaknya, mari cermati terlebih dahulu bagaimana MK membatasi makna korban dalam kasus pencemaran nama baik digital.

1. Hanya Individu yang Diakui sebagai Korban

MK menyatakan bahwa frasa ‘orang lain’ dalam Pasal 27A UU ITE hanya berlaku untuk individu, bukan institusi atau jabatan.

"Agar tidak terjadi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menerapkan frasa ‘orang lain’ Pasal 27A UU ITE, maka penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa yang dimaksud frasa ‘orang lain’ adalah individu atau perseorangan," kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa, 29 April 2025.

Meski secara hukum hal ini bisa memberikan kepastian dalam praktik penegakan UU ITE, muncul kekhawatiran bahwa institusi tidak lagi memiliki jalur hukum jika difitnah atau diserang secara digital. Terlebih di era disinformasi seperti sekarang, reputasi lembaga bisa rusak dengan sangat cepat lewat media sosial.

2. Berawal dari Gugatan Aktivis

Putusan MK ini merupakan respons atas permohonan uji materi yang diajukan Daniel Frits Maurits Tangkilisan, aktivis lingkungan yang sempat dipidana karena mengkritik kondisi tambak di Karimunjawa lewat media sosial.

Walau vonis tersebut kemudian dibatalkan, kasus ini menjadi pemicu gugatan terhadap kejelasan siapa yang bisa melaporkan pencemaran nama baik di ranah digital.

Meski dapat dimengerti dari sudut pandang aktivis dan pembela kebebasan berekspresi, ada ruang diskusi soal bagaimana menyeimbangkan kritik publik dan hak lembaga untuk menjaga citranya. Apalagi dalam konteks digital yang sering memaknai narasi menjadi hitam-putih.

3. Kritik sebagai Bagian Demokrasi

MK menyebut bahwa kritik merupakan bagian penting dari demokrasi dan harus dilindungi. Namun dalam praktiknya, sulit membedakan antara kritik, penghinaan, dan penyebaran informasi palsu. Apalagi jika yang disasar adalah institusi seperti rumah sakit, perguruan tinggi, atau kementerian yang bekerja melayani publik.

“Terbelenggunya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, justru akan mengikis fungsi kontrol atau pengawasan yang merupakan keniscayaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, abuse of power, dalam penyelenggaraan pemerintahan,” ucap Arief Hidayat membacakan pertimbangan Mahkamah.

Membatasi hak lembaga untuk menanggapi secara hukum bisa membuka celah baru dalam relasi kekuasaan antara warga dan institusi. Dikhawatirkan hal ini bisa digunakan untuk kampanye fitnah yang tidak dapat direspons secara proporsional oleh lembaga yang menjadi sasaran.

4. MK Merujuk KUHP Baru

Dalam pertimbangannya, MK menyebut bahwa Pasal 433 ayat (1) KUHP 2023 juga tidak mengakui lembaga sebagai korban pencemaran nama baik. Namun, KUHP baru sendiri belum berlaku hingga 2026, sehingga rujukan ini bisa dibilang masih prematur.

Memakai dasar hukum yang belum aktif untuk memperkuat putusan bisa menimbulkan keraguan akan terlalu terburu-buru. Selain itu, perdebatan mengenai substansi KUHP baru pun belum tuntas, sehingga menjadikan pasal di dalamnya sebagai patokan mutlak mungkin bukan pendekatan yang baik.

5. Pidana Hanya Berlaku sebagai Delik Aduan

Mahkamah menegaskan bahwa Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (5) UU ITE merupakan delik aduan. Artinya, proses hukum hanya bisa dilakukan apabila ada laporan dari individu yang merasa dirugikan. Bukan lembaga, bukan jabatan, bukan institusi.

Ketentuan ini menutup ruang bagi penyalahgunaan hukum oleh institusi atau aparat, serta memperkuat posisi masyarakat dalam menyuarakan kritik terhadap penyelenggaraan negara. Sebagai negara demokrasi, Indonesia harus menjamin ruang aman bagi warga negara untuk mengungkapkan pendapatnya.

Keputusan ini memang memberi ruang bagi kebebasan berekspresi. Namun, masih perlu dipertanyakan kesiapan negara dalam mengatur keseimbangan antara ekspresi dan akuntabilitas dalam bentuk lain.

Dikutip dari Antara, 6 Mei 2025, mengenai perbuatan yang dilarang dalam UU ITE dan dapat dikenai sanksi pidana

1. Pencemaran nama baik
UU ITE melarang setiap orang untuk menyebarkan informasi elektronik yang bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Hal ini diatur dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016. Pelaku dapat dikenai pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp750 juta.

2. Ujaran kebencian
Pemerintah secara tegas melarang penyebaran ujaran kebencian berbasis SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Aturan ini tertuang dalam Pasal 45A ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016. Pelaku ujaran kebencian dapat dikenai pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.

3. Perjudian online
Perjudian yang dilakukan melalui media elektronik juga termasuk dalam tindak pidana berdasarkan UU ITE. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016, serta KUHP Pasal 303 dan UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Ancaman hukuman mencapai 6 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.

4. Penyebaran konten asusila
Penyebaran video atau informasi yang melanggar kesusilaan, termasuk pornografi, dilarang keras. Ketentuan ini termuat dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2016 serta Pasal 4 ayat (1) UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Sanksi pidana maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda hingga Rp1 miliar.

5. Pengancaman dan pemerasan
UU ITE juga mengatur larangan terhadap penyebaran konten yang bermuatan pemerasan dan/atau pengancaman. Hal ini tertuang dalam Pasal 27 ayat (4) dan Pasal 45 ayat (4) UU No. 19 Tahun 2016. Pelaku diancam pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.

Raden Putri Alpadillah Ginanjar dan Novali Panji Nugroho turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |