TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Keuangan sebelumnya mencatat penerimaan khusus pajak hingga akhir Februari 2025 hanya Rp 187,8 triliun. Total penerimaan pajak ini menurun sekitar 30,1 persen dibandingkan dengan realisasi di periode yang sama tahun lalu. Pada Februari 2024, penerimaan pajak mencapai Rp 269,02 triliun.
Penurunan ini menjadi perhatian utama karena berkontribusi pada turunnya penerimaan perpajakan secara keseluruhan hingga 24,9 persen dari Rp 320,51 triliun pada Februari 2024 menjadi Rp 240,4 triliun pada Februari 2025.
Penerimanaan Pajak Anjlok
1. Pemerintah Dinilai Masih Belum Mau Mengakui Adanya Pelemahan Ekonomi Nasional
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky menilai Kemenkeu masih belum mau mengakui adanya pelemahan dinamika ekonomi nasional. Padahal, penerimaan pajak terpantau mengalami penurunan. "Kemenkeu tidak mengakui terjadinya pelemahan dinamika perekonomian selama dua bulan ini, yang berdampak pada penurunan penerimaan pajak," kata Awalil dalam keterangan tertulisnya seperti dikutip Tempo pada Sabtu, 15 Maret 2025.
Awali berpendapat, segala penjelasan yang diberikan oleh Kemenkeu tidak akan cukup menutupi fakta terjadinya penurunan penerimaan pajak. Sehingga pemerintah perlu menyiapkan mitigasi risiko dari kemungkinan buruk realisasi penerimaan pajak yang jauh dari target. "Secara keseluruhan, kondisi pendapatan negara selama dua bulan pertama 2025 ini mesti menjadi peringatan," kata Awalil.
2. Sri Mulyani Minta Tidak Mendramatisir Data Penerimaan Pajak yang Menurun
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta masyarakat tak terlalu mendramatisir data penerimaan pajak yang menurun pada dua bulan pertama tahun 2025 ini. Sebab, hal itu hanya akan menimbulkan ketakutan yang kemudian akan berdampak buruk bagi ekonomi.
“Saya mohon teman-teman tidak mendramatisir untuk menciptakan suatu ketakutan. Kayaknya itu memang laku, tapi tidak bagus untuk kita semua. Untuk ekonomi juga enggak bagus,” ucap Sri Mulyani dalam jumpa pers di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Kamis, 13 Maret 2025.
3. Defisit Anggaran dan Pengaruh terhadap Keuangan Negara
Hingga akhir Februari 2025, pendapatan negara tercatat sebesar Rp 316,9 triliun, turun sekitar 20,8 persen dibandingkan dengan Februari 2024 yang mencapai Rp 400,36 triliun. Sementara itu, belanja negara sudah mencapai Rp 348,1 triliun, sehingga menyebabkan defisit APBN sebesar Rp 31,3 triliun atau 0,13 persen dari PDB. Situasi ini memperburuk tekanan fiskal dan menambah tantangan dalam mencapai target penerimaan pajak tahun ini.
“APBN 2025 didesain dengan defisit Rp 616,2 triliun, jadi defisit ini masih di dalam target yang didesain dari APBN,” tutur Sri Mulyani.
4. Kenaikan PPN Tak Menyeluruh
Sebelumnya, pemerintah berencana menaikkan tarif PPN secara menyeluruh, tetapi kebijakan ini akhirnya hanya diterapkan pada barang mewah. Keputusan ini berdampak pada penerimaan pajak yang lebih rendah dari proyeksi awal karena basis pajak yang lebih kecil dibandingkan dengan skenario kenaikan PPN secara menyeluruh.
Beberapa kebijakan yang mempengaruhi penurunan penerimaan pajak mencakup relaksasi PPN dalam negeri dan penerapan tarif efektif rata-rata (TER) atas PPh Pasal 21. Selain itu, perlambatan harga komoditas utama seperti batu bara, minyak, dan nikel turut berkontribusi terhadap anjloknya penerimaan pajak di awal tahun.
5. Solusi Sumber Penerimaan Pajak Alternatif
Ekonom UGM, Rijadh Djatu Winardi, menyampaikan solusi sumber penerimaan pajak alternatif apa yang bisa dijajaki oleh pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada PPN dan PPh untuk menjadi alternatif perluasan opsi penerimaan. Pertama, kata dia, pajak kekayaan yang dikenakan pada nilai aset kekayaan seseorang. Besaran tarif pajak kekayaan umumnya di bawah angka 3,5 persen pada beberapa negara yang telah menerapkan pajak tersebut.
Kedua, optimalisasi penerimaan pajak bisa dilakukan pada pajak produksi batu bara. Pajak ini umumnya dihitung berdasarkan volume produksi batu bara yang dihasilkan. Ketiga, windfall tax, pajak windfall ini dikenakan pada keuntungan tidak terduga yang diperoleh perusahaan atau individu dari kenaikan harga komoditas secara signifikan.
Sebagai contoh Inggris mengenakan pajak windfall sebesar 25% pada perusahaan minyak dan gas pada tahun 2022 karena harga bahan bakar yang melonjak tinggi. “Tentunya semua alternatif ini tetap memerlukan kajian mendalam, kecermatan kebijakan, dan political will,” kata Rijadh dikutip dari situs web UGM, 27 Februari 2025.
Myesha Fatina Rachman, Vedro Imanuel Girsang turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Penerimaan Pajak Tak Mencapai Target