TEMPO.CO, Jakarta - Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menemukan sembilan pola tindakan represif aparat keamanan pada aksi peringatan hari buruh internasional atau May Day, Kamis, 1 May 2025. Temuan itu terjadi di tiga wilayah yakni Jakarta, Bandung, dan Semarang.
Anggota TAUD, Muhammad Yahya Ihyaroza mengatakan, temuan-temuan itu di antaranya yakni adanya tindak kekerasan terhadap petugas medis. Dari beberapa dokumentasi yang dikumpulkan, sekitar puluhan aparat kepolisian mengepung petugas medis jalanan pada aksi massa di depan Gedung DPR/MPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pengepungan itu dilanjutkan dengan upaya penggeledahan paksa, ejekan, pemukulan, hingga penangkapan sewenang-wenang kepada petugas medis,” kata Yahya melalui keterangan resminya, Sabtu, 10 Mei 2025.
Selanjutnya, aparat keamanan juga melakukan kekerasan fisik terhadap massa aksi pada saat aksi berlangsung. Kekerasan fisik berupa pemukulan pada bagian kepala, dada, dan sekujur tubuh, ditendang, dipiting, diinjak dengan sepatu lars, dilindas dengan kendaraan bermotor.
“Bahkan kekerasan fisik berulang serta terus menerus ketika penangkapan tersebut dilakukan dalam durasi 3-4 menit,” kata Yahya.
Anggota Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras itu melanjutkan, temuan lainnya juga menunjukkan aparat kepolisian melakukan penjebakan terhadap massa aksi. Peristiwa itu terjadi di Semarang. Massa aksi menggunakan ambulance untuk menangkap para massa aksi.
“Penjebakan (entrapment) dilakukan oleh aparat kepolisian dengan motif menangkap paksa massa aksi yang ingin mengakses fasilitas kesehatan di dalam ambulans tersebut,” kata Yahya.
Yahya melanjutkan, kepolisian juga melakukan pembingkaian buruk terhadap massa akis yang melakukan demonstrasi. Mereka melakukan tindakan pembingkaian (framing) dengan tuduhan sebagai kelompok Anarko. Pernyataan itu jelas menunjukkan upaya mendegradasi gerakan masyarakat sipil yang melaksanakan hak ekspresinya.
“Pembunuhan karakter terhadap massa aksi yang ditangkap oleh aparat kepolisian.” kata Yahya.
Tindakan kekerasan yang kelima, dialami oleh perempuan massa aksi. Mereka mengaku mengalami kekerasan seksual. Hal itu diungkapkan korban melalui akun X pribadinya. Dalam kesaksiannya, korban mengaku diteriaki oleh aparat kepolisian dengan sebutan ‘lonte’, ‘pukimak’, hingga menarik pakaian dalam korban.
“Selain itu, dalam dokumentasi tersebut, terlihat seorang perempuan yang ditarik paksa untuk ditangkap oleh aparat kepolisian,” kata Yahya.
Pengepungan kampus oleh aparat kepolisian di Semarang juga menjadi temuan TAUD selanjutnya. Saat massa aksi sudah menyelamatkan diri ke dalam salah satu kampus di Jawa Tengah, sekitar ratusan aparat kepolisian serta orang tidak dikenal memadati sekitaran kampus untuk mengepung massa aksi di dalam kampus. Hal ini mengakibatkan banyak massa aksi mengalami ketakutan.
“Ketujuh, penggunaan kekuatan secara berlebihan, yakni dengan senjata pengendali massa yang serampangan,” kata Yahya.
Kekerasan lainnya, adalah proses pemeriksaan yang tidak manusiawi. Penyiksaan psikis ditemukan saat TAUD melakukan pendampingan terhadap peserta aksi di Polda Metro Jaya. Ke semua massa aksi diperiksa sejak 1 Mei 2025 malam hingga 2 Mei 2025 pagi sekitar pukul 05.00 WIB.
Terakhir, aparat juga melakukan penutupan akses fasilitas publik. Pagi hari sebelum aksi dilakukan, Polisi telah menutup beberapa fasilitas umum dengan dalih sebagai bagian dari pengamanan.
“Faktanya hal ini justru mengganggu pengguna fasum dan membuat akses evakuasi juga tertutup seperti JPO Jalan Gatot Subroto yang merupakan satu-satunya jembatan yang dapat digunakan,” kata Yahya.