TEMPO.CO, Jakarta -Usai gaduh pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan buruh imbas tutupnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), kini perusahaan tekstil di Sukoharjo, Jawa Tengah, itu sedang berhadapan dengan kasus hukum. Adalah dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian dan penyalagunaan kredit (side streaming) yang kini melambungkan Sritex.
Tahun lalu, Sritex telah dinyatakan pailit dan resmi tutup per Sabtu, 1 Maret 2025. Saat ini, seluruh asetnya telah dikuasai kurator pailit. Namun demikian pemerintah masih berupaya mencari skema agar perusahaan bisa beroperasi kembali agar pegawai mereka dapat bekerja kembali dan tidak ada PHK massal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli pernah berbicara peluang eks karyawan Sritex dipekerjakan kembali. Dia berharap agar sebanyak mungkin korban PHK Sritex bisa bekerja kembali. "Komitmennya kan akan diserap sebanyak mungkin," kata Yassierli saat ditemui usai halalbihalal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Ayana Mid Plaza, Jakarta, Senin, 14 April 2025.
Dia berharap operasional Sritex tetap bisa berjalan. Sebabnya, raksasa tekstil itu dinilai memiliki aset yang bagus dan masih punya pasar. "Iya kan kami berharap, karena Sritex itu kan asetnya bagus. Kemudian pasarnya ada, dan sebelumnya semua itu adalah produksinya jalan lagi. Itu yang kami harapkan," tutur Yassierli.
Yassieli mengatakan saat ini sudah ada pekerja yang menandatangani kontrak kerja dengan investor baru. Namun, mereka belum mulai bekerja karena masih ada urusan administrasi. "Sudah tanda tangan kontrak. Sedang tadi persiapan administrasi. Sekarang kan hasilnya adalah finalisasi administrasi antara business-to-business, kurator dan investor," ujarnya.
Kejaksaan Agung Selidiki Dugaan Korupsi di Sritex
Sebelumnya, Kejaksaan Agung mengagendakan pemeriksaan Manajer Accounting PT Senang Kharisma Textile (Sritex Group) Yefta Bagus Setiawan sebagai saksi pada Selasa, 22 April 2025 pukul 09.00 WIB. Namun, Yefta tak memenuhi panggilan. “Tidak hadir,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar saat dihubungi pada Selasa, 22 April 2025.
Pemanggilan ini diketahui dari surat bernomor SPS-1905/F.2/Fd.2/04/2025 tertanggal 15 April 2025 yang dilihat Tempo. Kejaksaan Agung mulanya menjadwalkan pemeriksaan Yefta di Ruang Pemeriksaan Gedung Jaksa Agung Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).
Kejaksaan Agung diketahui mengusut kasus ini sejak 25 Oktober 2024 lalu. Kasus tersebut diduga menyeret PT Bank Negara Indonesia (BNI), PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten (BJB), PT Bank DKI, dan Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah, kreditur Sritex yang berstatus sebagai bank plat mereah. Perintah penyidikan datang melalui Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-62/F.2/Fd2/10/2024. Jampidsus juga telah mengeluarkan surat penyidikan kedua pada 20 Maret 2025.
Sebelumnya, merujuk pada laporan Tempo, Badan Reserse Kriminal Polri juga sempat mengusut kasus yang sama. Setelah Sritex dinyatakan pailit pada 21 Oktober 2024, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI mengusut dugaan tindak pidana berupa penyelewengan penyaluran kredit ke perusahaan tekstil tersebut. Dalam warkat yang dilihat Tempo, polisi pun telah memeriksa pimpinan Bank Permata dan Bank Muamalat selaku kreditur Sritex dengan surat bernomor B/Und-2190/XI/RES.1.9./2024/Dittipideksus tertanggal 26 November 2024 atas laporan informasi bernomor R/LI/157/X/RES.1.9./2024/Dittipideksus tertanggal 30 Oktober 2024.
Saat itu polisi menduga tindak pidana ini melanggar pasal 372 KUHP dan/atau pasal 263 KUHP dan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Polisi menduga dalam permohonan dan pencairan fasilitas kredit serta pembiayaan bank, Sritex menggunakan dokumen palsu, menggelembungkan nilai piutang, mengagunkan aset secara berganda, menggunakan utang tidak sesuai dengan peruntukannya, hingga melakukan pencucian uang atas pencairan kredit tersebut. Sritex diduga merugikan bank dan pemberi pinjaman lain senilai Rp 19,963 triliun.
Annisa Febiola berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Wamenkeu Klaim Rasio Pajak Membaik, Begini Faktanya