AJI Jakarta Desak Polri Usut Kasus Pengeroyokan Jurnalis di Hari Buruh 2025

13 hours ago 11

TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mendesak polisi untuk mengusut tuntas kasus pengeroyokan terhadap jurnalis yang meliput peringatan Hari Buruh Internasional di depan Gedung Parlemen,Senayan pada 1 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua AJI Jakarta Irsyan Hasyim mengatakan kasus pengeroyokan yang dilakukan anggota kepolisian berpakaian bebas terhadap seorang jurnalis Progresip memperpanjang mata rantai kekerasan yang dialami jurnalis.

"Kami mendesak Kapolri dan Kapolda Metro Jaya untuk mengusut kekerasan yang menghambat kerja jurnalistik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers," kata Irsyan dalam keterangan tertulis yang diperoleh Tempo, Jumat, 2 Mei 2025.

AJI Jakarta, dia melanjutkan, juga mengingatkan kepada seluruh pihak untuk menghormati azas kebebasan pers, termasuk manakala terjadi ketidakpuasan terhadap pemberitaan yang dipublikasikan. Irsyan menjelaskan, sengketa pers haruslah dilakukan dengan menggunakan mekanisme yang sesuai aturan perundang-undangan, yaitu menggunakan hak jawab dan koreksi.

"Jurnalis dilindungi oleh hukum dalam menjalankan tugasnya sebagaimana Pasal 8 UU Pers," ujar dia.

Adapun, jurnalis Progresip berinisial Y menjadi korban pengeroyokan yang dilakukan 10 anggota kepolisian berpakaian bebas saat menjalankan kerja jurnalistik pada peringatan Hari Buruh Internasional di depan Gedung Parlemen, Kamis, kemarin.

Pemimpin Redaksi Progrsip Setyo A. Saputro mengatakan, Y dikeroyok di depan Talaga Senayan sekitar pukul 17.25 atau pada saat kepolisian membubarkan paksa massa aksi.

Saat pengeroyokan terjadi, kata dia, Y sebetulnya sempat menunjukkan kartu pers untuk membuktikan posisinya sebagai awak media. Namun, sepuluh anggota kepolisian itu tak menanggapi dan terus melakukan tindak kekerasan. 

"Kekerasan fisik dengan menarik, mencekik, memukul, serta memiting leher korban," kata Setyo.

Pun, dia bercerita, sebelum dikeroyok, Y yang tengah melakukan kegiatan peliputan sempat diteriki oleh sejumlah orang yang menudingnya sebagai bagian dari kelompok anarko.

Setyo menirukan penjelasan Y dengan mengatakan, orang yang meneriaki sebagai anarko itu juga merupakan orang yang melakukan pembubaran paksa kepada massa aksi.

"Mereka (pengeroyok) juga menggeledah dan memaksa Y untuk menghapus rekaman dari kamera," ujarnya.

Di tengah kekisruhan, kata dia, seorang bernama Andi yang mengaku dari Lembaga Bantuan Hukum Rahadian sempat berupaya melepaskan Y dengan menegaskan jika Y adalah seorang jurnalis.

Upaya itu membuahkan hasil. Sebab, para pengeroyok akhirnya membubarkan diri dan meninggalkan lokasi. Namun, kata Setyo, Y mengalami syok dan sesak nepas akibat pengeroyokan yang dilakukan terhadapnya.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers Mustafa Layong mengutuk tindak kekerasan yang dilakukan kepolisian terhadap jurnalis. Ia mendesak Kapolri untuk menerbitkan regulasi yang melarang anggotanya menyaru dengan menggunakan pakaian bebas.

Desakan tersebut, dia menjelaskan, dilakukan untuk memudahkan proses identifikasi terhadap anggota kepolisian yang melakukan kekerasan dalam mengawal aksi demonstrasi.

"Sebab, pakaian bebas dalam pelaksanaan tugas keamanan menimbulkan kekhawatiran dan penyalahgunaan karena minim pengawasan terhadap pelanggaran prosedur," kata Mustafa.

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho dan Kepala bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya Komisaris Besar Ade Ari Syam Indradi belum menjawab pesan pertanyaan Tempo ihwal kasus pengeroyokan yang dilakukan terhadap jurnalis ini.

Hingga laporan ini dipublikasikan, pesan yang dikirim melalui aplikasi perpesanan WhatsApp itu hanya menunjukan notifikasi dua centang abu atau hanya terkirim tapi belum dibaca.

Untuk diketahui, pada 2024 AJI mencatat 73 kasus kekerasan yang dialami jurnalis, dengan 20 di antaranya berupa kasus kekerasan fisik. Dari catatan tersebut, kepolisian menjadi pelaku yang mendominasi dengan jumlah 19 kasus disusul prajurit TNI, organisasi masyarakat, orang tak dikenal, aparat pemerintah, dan korporasi.

Pelaku kekerasan pun didominasi oleh polisi dengan jumlah 19 kasus. Pelaku lain meliputi anggota TNI, organisasi masyarakat, orang tak dikenal, aparat pemerintah, hingga perusahaan. 

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |