Alasan Bulog Tak Maksimal Menyerap Gabah Petani menurut Peneliti CORE

9 hours ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Eliza Mardian menjelaskan alasan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) tidak optimal menyerap gabah petani dibanding pengusaha penggilingan swasta. Eliza mengatakan masalah mendasarnya berawal karena Bulog masih bersikap pasif dengan menanti para petani untuk menyetor hasil panen ke gudang Bulog.

"Petani kita tidak terbiasa mengirimkan gabahnya ke gudang, karena biasanya mereka dijemput bola sama bandar atau tengkulak," ujar Eliza saat dihubungi pada Sabtu, 15 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menjelaskan para petani cenderung terikat dengan tengkulak karena di masa awal tanam membutuhkan pinjaman untuk modal menanam padi. Dengan sistem yang disebut 'ijon' petani mau tidak mau menjual hasil panennya ke tengkulak yang meminjami modal sebagai timbal balik. 

Oleh karena itu, Eliza menilai para petani yang kekurangan modal akan kesulitan untuk menjual ke Bulog selama tidak ada inisiatif dari perusahaan pelat merah tersebut. Adapun bagi petani yang tidak menerapkan sistem ijon, Eliza pun mengatakan masih ada hambatan bagi mereka menyetorkan hasil panen ke Bulog. "Petani kerap kebingungan menjual ke Bulog karena minimnya informasi dan belum lagi petani harus mengeluarkan biaya transportasi." 

Padahal, kata Eliza, jika petani yang telah bekerja sama dengan pengusaha swasta maka tengkulak itulah yang menanggung biaya transportasi untuk mengangkut hasil panen. Bahkan tengkulak itu menurut Eliza mendatangi lahan petani langsung dan menyiapkan armada. "Jadi petani sudah tidak mengurus apapun lagi pasca panennya," ujarnya.

Eliza mengatakan selama ini para petani telah terbiasa dengan cara tersebut sehingga tidak harus pusing memikirkan cara serta biaya untuk mengirimkan hasil panen ke Bulog. Terlebih, Eliza juga menyebut gudang-gudang Bulog juga tidak tersedia di setiap desa.  

Keterbatasan akses itulah yang selanjutnya dianggap Eliza menjadi alasan penyerapan gabah petani oleh Bulog tidak maksimal. "Petani jadinya sulit menjangkau gudang Bulog dan Bulognya pun tidak jemput bola seperti bandar yang jemput bola ke lahan petani," katanya menegaskan. 

Ia juga menggarisbawahi adanya praktik pembelian gabah oleh Bulog yang harganya di bawah penggilingan swasata sehingga secara otomatis petani lebih berminat menjual ke bandar. "Jadinya Bulog tidak kebagian," ucap Eliza menyebut dampaknya.

Oleh sebab itu, Eliza menilai perlunya penambahan gudang Bulog dengan memanfaatkan tempat penyimpanan milik BUMN atau BUMDes. Ia juga merekomendasikan Bulog untuk mendatangi langsung sentra-sentra produksi pertanian demi bisa memaksimalkan penyerapan gabah petani. 

Mengingat Bulog mendapatkan penugasan untuk menyerap minimal 2 juta ton beras pada puncak panen raya April 2025. Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan sudah menurunkan target itu dari yang sebelumnya sebesar 3 juta ton, dengan membeli beras dari Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) sebanyak 2,1 juta ton. 

Eliza melihat dengan dipilihnya Mayor Jenderal TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Bulog menjadi strategi pemerintah mengejar percepatan target tersebut. Ia mengatakan keberadan Bintara Pembina Desa (Babinsa) yang kerap mengawasi hasil pertanian berpotensi dimobilisasi oleh Bulog demi mempercepat penyerapan beras. Hal itu dimungkinkan, kata Eliza, dengan armada yang dimiliki oleh TNI. 

Hal itu selaras dengan pernyataan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen Hariyanto yang menyebut penunjukan Novi Helmy sebagai Dirut Bulog karena ia dianggap memiliki pengalaman di bidang pembinaan Babinsa serta memiliki jaringan yang luas. 

Pengalaman itu dianggap dapat mempermudah Bulog dalam menjalankan program ketahanan pangan nasional. “Panglima TNI telah menyetujui permintaan tersebut, setelah mempertimbangkan aspek strategis dan kontribusi yang dapat diberikan oleh Mayjen TNI Novi Helmy di Bulog,” ujar Hariyanto pada Senin, 10 Februari 2025, dikutip dari Antara.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |