TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyatakan Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapatkan perhatian khusus dari lembaga pemantau HAM yang berbasis di London, Inggris, itu. Perhatian khusus itu diberikan karena menguatnya gejala otoritarianisme di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
“Memang ada sejumlah negara, seperti India, Brazil, Filipina, dan juga indonesia yang awalnya diharapkan menjadi negara yang demokratis. Tapi belakangan ada kecenderungan mengarah pada praktik otoritarianisme di negara-negara tersebut,” kata Usman saat ditemui usai mendampingi Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard berdialog dengan pimpinan Mahkamah Agung, Kamis, 6 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usman mengatakan, di sejumlah negara, gejala otoritarianisme berawal dari robohnya independensi lembaga peradilan. Dalam konteks ini, kata dia, kekuasaan kehakiman mendapatkan intervensi dari kekuasaan eksekutif dalam menjalankan kekuasaannya.
Atas kekhawatiran itulah, kata Usman, Indonesia menjadi salah satu negara yang dikunjungi petinggi Amnesty International. Dalam kunjungan kali ini, selain bertemu dengan Ketua MA Sunarto, sebelumnya Sekjen Amnesty International juga berdialog dengan Gubernur Jakarta Pramono Anung.
“Sekjen Amnesty datang ketika ada kebuntuan politik dan mengarah pada gejala otoritarianisme, kami ingin mengingatkan bahwa betapa penting peran MA untuk mencegah praktik otoriter,” ujar Usman.
Usman mengatakan, dalam diskusi dengan Ketua MA dan sejumlah hakim agung, Agnes Callamard menyampaikan bahwa gejala otoritarianisme yang sudah terlihat di Indonesia yakni lemahnya fungsi pengawasan oleh kekuasaan legislatif. “Kami tidak ingin hal yang sama terjadi pada lembaga yudikatif, ini menjadi perhatian serius,” ujar Usman.
Menurut Usman, Indonesia tinggal sejengkal lagi menjadi negara otoriter bila kekuasaan yudikatif sudah mulai terkooptasi dan gagal menjalankan tugasnya secara independen. Di tengah kebuntuan politik saat ini, dia melanjutkan, sulit berharap banyak pada parlemen dan partai politik yang mengisinya.
“Amnesti sangat khawatir terhadap itu. Untuk mencegah otoritarianisme, maka peran legislatif dan yudikatif sangat penting, sangat mutlak dan absolut untuk dapat mencegah otoritarianisme,” katanya.
Kekhawatiran Amensty International terhadap menguatnya gejala otoritarianisme cukup beralasan. Salah satunya terkonfirmasi oleh penurunan skor indeks demokrasi yang dirilis The Economist Intellegence Unit (EIU). Lembaga riset dan analisis yang berpusat di London, Inggris, itu, menunjukkan skor demokrasi di Indonesia pada tahun 2024 sebesar 6,44/
Skor ini membuat Indonesia masuk dalam kategori negara dengan demokrasi yang cacat atau flawed democracy. Berdasarkan skor itu, Indonesia turun tiga peringkat dari posisi 56 di tahun sebelumnya, menjadi peringkat 59 di tahun ini dari total 167 negara yang diteliti.
Pada tahun 2023, skor demokrasi Indonesia menunjukkan angka 6,5 yang juga menunjukkan penurunan. Di mana pada tahun sebelumnya atau 2022, skor demokrasi Indonesia mencapai besaran 6,71. Itu artinya, tiga tahun berturut-turut Indonesia berada di kategori negara dengan demokrasi yang cacat.
Dalam dokumen hasil penelitian mereka, EIU menjelaskan ada beberapa hal yang menjadi komponen penilaian mereka terhadap jalannya demokrasi di negara-negara dunia. Beberapa komponen tersebut seperti proses pemilihan dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil.
“Pada 2024, dua kategori yang mencatatkan penurunan terbesar adalah fungsi pemerintahan dan proses pemilihan serta pluralisme,” tulis EIU dalam dokumen yang diterima oleh Tempo, Rabu, 5 Maret 2025.
Vedro Imanuel Girsang berkontribusi dalam penulisan artikel ini.