TEMPO.CO, Jakarta - Para pemburu aurora di wilayah kutub menyarankan bahwa waktu terbaik untuk menyaksikan fenomena ini adalah sekitar periode equinox. Equinox sendiri merupakan peristiwa astronomi ketika matahari melintasi garis khatulistiwa atau ekuator, yang terjadi dua kali dalam setahun, yaitu pada 21 Maret dan 23 September.
Dilansir dari Antara, kata "equinox" sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu “aequus” yang berarti “sama” dan “nox” yang berarti “malam”. Pada saat ini, panjang siang dan malam hampir sama di seluruh dunia. Masyarakat yang tinggal di sekitar ekuator biasanya akan merasakan peningkatan suhu udara selama peristiwa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada bulan Maret, fenomena ini dikenal sebagai equinox vernal, sedangkan pada bulan September disebut equinox autumnal. Peristiwa ini memiliki makna penting karena menandai pergantian musim.
Di Indonesia, equinox dapat membawa beberapa dampak, salah satunya adalah peningkatan suhu udara. Meski demikian, kenaikan suhu yang terjadi tidak terlalu signifikan, tetap berada dalam kisaran rata-rata 26-36 derajat Celsius. Namun, perubahan ini tetap dapat memengaruhi kondisi cuaca serta pola iklim di beberapa wilayah.
Penjelasan ilmiah mendukung pendapat tersebut, karena data menunjukkan bahwa jumlah aurora mencapai puncaknya di sekitar waktu equinox. Sebaliknya, aktivitas aurora cenderung berkurang pada bulan Juni dan Desember, ketika Matahari berada di titik balik. Karena Matahari tidak mengikuti rotasi Bumi, para ilmuwan terus meneliti hubungan antara badai geomagnetik dan aurora yang dihasilkan dengan pola kalender tahunan.
Saat ini, penjelasan yang paling umum berkaitan dengan penyelarasan medan magnet Bumi. Perlu diketahui bahwa kutub magnet Bumi tidak sepenuhnya sejajar dengan kutub geografisnya, melainkan tetap dalam posisi miring terhadap Matahari. Dua kali dalam setahun, sekitar waktu equinox, orbit Bumi menempatkan medan magnet miring ini pada posisi optimal untuk menerima partikel bermuatan yang memicu terbentuknya aurora.
Para ilmuwan meyakini bahwa aurora berasal dari angin Matahari dan fenomena terkait seperti semburan Matahari serta lontaran massa koronal. Partikel bermuatan yang terpancar dari Matahari bergerak menjauh dan menyapu bumi, lalu tertarik ke wilayah dengan garis lintang tinggi akibat pengaruh medan magnet bumi. Saat partikel berenergi tinggi ini bertabrakan dengan atom-atom di atmosfer bagian atas, mereka menghasilkan cahaya terang yang membentuk pola indah di langit.
Aurora sendiri merupakan bagian dari badai geomagnetik yang terjadi akibat interaksi partikel-partikel ini dengan medan magnet Bumi. Aktivitas badai geomagnetik meningkat baik dalam intensitas maupun jumlahnya dua kali setahun, bertepatan dengan periode equinox.
Menurut data dari British Geological Survey, secara rata-rata, badai magnet yang cukup besar terjadi hampir dua kali lebih sering pada Maret dibandingkan dengan Juni atau Juli.
Apakah fenomena ini berbahaya?
Banyak orang mungkin bertanya-tanya apakah fenomena equinox dapat membawa dampak negatif atau bahkan berbahaya bagi kehidupan sehari-hari. Menurut pakar iklim lingkungan dari Fakultas Geografi UGM, equinox bukanlah fenomena yang berbahaya. Peristiwa ini merupakan bagian dari siklus alam yang wajar dan tidak menimbulkan dampak negatif yang signifikan.
Meskipun equinox dapat menyebabkan sedikit peningkatan suhu udara di beberapa wilayah, perubahan ini umumnya bersifat moderat dan tidak mencapai tingkat yang berisiko bagi kesehatan. Suhu rata-rata tetap berada dalam kisaran yang wajar, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan dampak serius dari fenomena ini.
Meski demikian, para ahli tetap menyarankan beberapa langkah antisipasi sederhana untuk menjaga kenyamanan selama periode equinox. Salah satunya adalah dengan meningkatkan asupan cairan agar tubuh tetap terhidrasi dengan baik.
Maria Fransisca Lahur turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Banjir Bandang di Cianjur Menjelang Equinox Ini Kata BMKG dan BRIN