TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) telah mengumumkan struktur kepengurusannya, Senin, 24 Maret 2025. Pengumuman ini disampaikan langsung oleh Chief Executive Officer Danantara Rosan Perkasa Roeslani
Rosan mengatakan kepastian struktur ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan pasar dan masyarakat terhadap Danantara. Menurut dia, seluruh pengurus dipilih melalui proses seleksi ketat dan berasal dari kalangan profesional dengan rekam jejak yang mumpuni. “Dari nama-nama ini, tidak ada nama-nama titipan. Ini melalui seleksi yang mendalam. Ini adalah nama-nama yang berkecimpung di market dan mempunyai track record yang baik,” ujar Rosan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun Chief Investment Officer Danantara Pandu Sjahrir menegaskan bahwa penunjukan tokoh-tokoh global dalam kepengurusan Danantara dilakukan untuk mengantisipasi risiko makroekonomi dan geopolitik yang semakin meningkat. Ia juga mengatakan bahwa semua anggota tim Danantara dipilih berdasarkan keahlian dan profesionalisme, bukan karena kepentingan politik. "Semoga hari ini bisa dijawab bahwa all professional, tidak ada titipan-titipan. Semua adalah yang terbaik di bidangnya, and global, ini juga penting," katanya.
Lalu, bagaimana tanggapan para pengamat dan ekonom terkait susunan kepengurusan Danantara?
Yusuf Wibisono: Risiko Konflik Kepentingan dalam Kepengurusan
Direktur lembaga kajian Next Policy, Yusuf Wibisono, menilai struktur kepengurusan Danantara diisi oleh individu yang memiliki afiliasi kuat dengan politik dan bisnis. Menurut dia, kondisi ini menimbulkan risiko konflik kepentingan dalam pengambilan keputusan strategis.
Ia menyoroti keberadaan mantan presiden di Dewan Pengarah serta sejumlah menteri yang merangkap jabatan dalam kepengurusan Danantara. Dominasi tokoh politik dalam struktur ini menurut dia juga akan berisiko membuat kebijakan Danantara lebih berpihak pada kepentingan politik ketimbang kepentingan ekonomi nasional.
Dari sisi bisnis, Yusuf juga menyoroti keberadaan tokoh global seperti Ray Dalio, Chapman Taylor, dan Thaksin Shinawatra dalam Dewan Penasihat Danantara. Kehadiran Thaksin yang memiliki riwayat kasus korupsi menambah kekhawatiran terhadap transparansi dan independensi Danantara dalam mengelola investasi.
Selain itu, Yusuf menilai tata kelola aset BUMN menjadi aspek paling krusial dalam Danantara. Sebab, setoran dividen BUMN yang selama ini masuk sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) akan beralih menjadi penerimaan Danantara.
Dengan sistem audit yang hanya melibatkan akuntan publik dan tidak bisa diperiksa oleh KPK kecuali ada permintaan khusus, Yusuf menilai bahwa Danantara membutuhkan pengawasan yang lebih ketat untuk memastikan transparansi dan akuntabilitasnya.
Shinta Kamdani: Perlu Pengawasan dan Profesionalisme
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menekankan bahwa kepengurusan Danantara harus bekerja secara profesional dan menjunjung tinggi prinsip transparansi, akuntabilitas, serta tata kelola yang baik. Menurut Shinta, Danantara tidak boleh sekadar menjadi entitas pengelola aset, tetapi juga harus aktif memperkuat industri nasional, mendorong inovasi teknologi, dan mempercepat transformasi ekonomi menuju hilirisasi dan peningkatan nilai tambah.
Ia menegaskan bahwa tim kepengurusan Danantara harus mampu menerjemahkan visi dan misi badan ini ke dalam strategi serta kebijakan yang konkret dan berdampak pada perekonomian nasional. Agar dampaknya nyata, Shinta menyarankan adanya sistem evaluasi berkala terhadap dampak investasi Danantara terhadap indikator utama pembangunan ekonomi.
Aan Eko Widiarto: Risiko Tumpang Tindih Wewenang dan Konflik Kepentingan
Dikutip dari laman The Iconomics, pengamat hukum tata negara Aan Eko Widiarto menyoroti adanya tumpang tindih wewenang dalam kepengurusan Danantara. Ia mengkhawatirkan bahwa keterlibatan sejumlah pejabat negara dalam struktur ini berpotensi menimbulkan bias dalam pengambilan keputusan.
Menurut Aan, pejabat negara seharusnya bertindak sebagai regulator yang mengawasi kebijakan investasi. Namun, dengan posisi mereka di Danantara, terjadi pencampuran peran antara regulator dan operator.
Aan juga menilai bahwa revisi Undang-Undang BUMN yang mengendurkan fungsi pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperparah situasi. Saat ini, BPK hanya dapat melakukan audit Danantara jika ada permintaan khusus dari DPR, yang berpotensi melemahkan transparansi dan akuntabilitas lembaga tersebut.
Deni Friawan: Struktur Danantara Tambah Layer Birokrasi
Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan, menilai struktur kepengurusan Danantara justru menambah kompleksitas birokrasi tanpa membawa perubahan signifikan dalam tata kelola BUMN.
Menurut Deni, tujuan awal pembentukan Danantara adalah agar BUMN dapat beroperasi lebih profesional dan lepas dari intervensi politik. Namun, dengan struktur kepengurusan yang ada saat ini, intervensi pemerintah masih kuat, bahkan semakin melekat.
“Sekarang begini, Kementerian BUMN dengan Kementerian Investasi dan Hilirisasi itu kan dua entitas yang sebenarnya setara. Kalau misalnya yang mengawasi setara sama yang diawasi, itu kan jadi percuma,” kata Deni.
Deni juga menilai struktur ini hanya menambah lapisan birokrasi yang tidak perlu. Jika sebelumnya pengelolaan BUMN hanya melibatkan holding BUMN dan Kementerian BUMN, kini ada tambahan superholding Danantara yang berfungsi sebagai perantara sebelum kebijakan mencapai kementerian. Menurut dia, struktur kepengurusan yang ada ini hanya memperbanyak layer birokrasi tanpa membawa perubahan mendasar dalam tata kelola BUMN.
Melynda Dwi Puspita, Riani Sanusi Putri, Ervana Trikarinaputri, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.