TEMPO.CO, Jakarta - Pemanasan global dan perubahan iklim menyebabkan makanan lebih cepat rusak dan risiko penyakit bawaan makanan meningkat. Temuan ini sejalan dengan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kalau sekitar 600 juta orang di seluruh dunia jatuh sakit akibat makanan yang terkontaminasi setiap tahunnya, dengan 420 ribu kematian, termasuk 125 ribu di antaranya adalah balita.
Dikutip dari Live Science, laporan yang dibuat Yale Climate Connections dan dipublikasi 26 April 2025 itu menyatakan bahwa pemanasan global mempercepat pertumbuhan bakteri dan patogen lain pada makanan. Terutama dalam kondisi saat terjadi panas ekstrem, banjir, dan kelembapan tinggi. "Bacillus cereus, salah satu bakteri yang kian umum ditemukan, bisa berkembang pada makanan sisa yang disimpan setelah dimasak dan menghasilkan racun penyebab muntah serta infeksi saluran pernapasan," bunyi laporan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumitra Sutar (75), warga Desa Haroli di Maharashtra, India, mengungkap menjadi salah satu korbannya. Ia keracunan makanan setelah mengonsumsi nasi dan kari lentil sisa. “Muntah setidaknya 15 kali sehari,” katanya mengenang kejadian saat ia terus-menerus muntah. Belakangan diketahui ia terinfeksi bakteri Bacillus cereus.
Suhu ekstrem yang belakangan bisa mencapai 43 derajat Celsius di Maharashtra diduga kuat berkontribusi terhadap peningkatan kasus penyakit keracunan makanan. Padmashri Sutar, petugas kesehatan masyarakat sekaligus menantu Sumitra, mengatakan banyak warga di negara bagian itu mengalami kejadian serupa.
Penelitian dalam jurnal Climatic Change telah menunjukkan bagaimana suhu tinggi dan perubahan pola hujan mendorong pertumbuhan patogen seperti salmonella, E. coli, dan Campylobacter jejuni. “Peningkatan suhu mendorong pertumbuhan bakteri seperti listeria, campylobacter, dan salmonella pada makanan mudah rusak seperti daging, produk susu, dan makanan laut,” kata Ahmed Hamad, dosen higiene pangan di Universitas Benha, Mesir.
Studi di Meksiko bagian barat laut juga menunjukkan bahwa salmonella paling banyak ditemukan pada wilayah bersuhu 35–37 derajat Celsius dengan curah hujan lebih dari 1.000 mm per tahun. Penelitian lain menyebut bahwa kelembapan tinggi mempercepat pertumbuhan Salmonella enterica, bakteri yang sudah menginfeksi 1,2 juta orang di Amerika Serikat setiap tahun.
Hudaa Neetoo, profesor mikrobiologi dan keamanan pangan di Universitas Mauritius, memperingatkan bahwa makanan siap saji lebih berisiko menyebabkan penyakit saat terjadi gelombang panas. “Tingkat mikroorganisme patogen dalam produk ini dapat meningkat secara signifikan dan mencapai tingkat yang cukup untuk menyebabkan penyakit karena tidak ada langkah pemanasan akhir untuk membunuh kuman,” ujarnya.
Bagaimana Kontribusi Banjir dan Kekeringan?
Neetoo juga menambahkan bahwa banjir dapat membawa kotoran hewan dari peternakan ke lahan pertanian dan mencemari sayuran maupun bahan pangan yang biasanya dikonsumsi mentah. Kotoran hewan dapat mengandung patogen manusia seperti E. coli, enteropatogenik, salmonella, dan campylobacter.
"Penelitian menemukan bahwa pencucian rumah tangga saja tidak cukup untuk mendekontaminasi hasil pertanian dan menurunkan kadar organisme hingga ke tingkat aman,” katanya.
Neetoo memperingatkan bahwa beberapa patogen dapat masuk melalui akar tanaman dan menjadi bagian dari jaringan tanaman itu sendiri, sehingga lebih sulit dibersihkan. Belum lagi sistem irigasi juga bisa terkontaminasi akibat banjir.
Ilustrasi Sawah Terendam Banjir. (ANTARA/M Ibnu Chazar/dok)
Dampak tidak langsung dari perubahan iklim juga bisa menyebabkan wabah penyakit makanan. Sebuah studi dalam Journal of Health Monitoring mencatat bahwa ketika air bersih semakin langka, air limbah olahan bisa digunakan untuk irigasi tanaman. Namun, jika tidak diproses dengan baik, air ini berisiko membawa patogen dari kotoran hewan atau manusia.
Martin Richter, kepala unit keamanan pangan di Institut Federal Penilaian Risiko Jerman, menekankan pentingnya pengolahan air limbah hingga benar-benar aman sebelum digunakan untuk irigasi. “Kadang satu salinan patogen saja sudah cukup untuk menyebabkan penyakit,” ujarnya sambil menambahkan, "Perlu memasak makanan pada suhu 70 derajat Celsius selama setidaknya dua menit untuk dapat menghancurkan sebagian besar patogen.”
Karenanya, Neetoo mengatakan perlunya perguruan tinggi melakukan studi pemantauan jangka panjang untuk memprediksi dampak perubahan iklim terhadap sistem pangan. Ia juga mendorong penelitian metode baru untuk mendekontaminasi gudang, wadah, dan produk makanan yang pernah terendam banjir.
Para ahli menekankan pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa perubahan iklim bukan sekadar isu lingkungan, tapi juga berdampak besar pada kesehatan. “Termasuk meningkatnya risiko penyakit bawaan makanan,” kata Hamad.
Menurutnya, masih banyak kesalahpahaman publik, termasuk anggapan bahwa cuaca dingin bisa membunuh semua bakteri. “Beberapa bakteri, seperti listeria, masih bisa tumbuh di suhu dingin, sehingga tetap berisiko meski di iklim yang lebih sejuk,” ujarnya.