REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta bersama BNI Life, Prasetiya Mulya Publishing, dan Infobank Publishing menyelenggarakan diskusi buku “Transformasi dan Ruwat-Citra Korporasi, Organisasi Nirlaba, Destinasi Wisata” karya bankir senior dan pegiat seni-budaya, Sigit Pramono di Concert Hall ISI Yogyakarta, Rabu (24/9/2025), malam.
Diskusi yang menghadirkan sejumlah tokoh nasional sebagai narasumber seperti Danton Sihombing (Brand Specialist), Dr Suwarno Wisetrotomo (Kurator dan Dosen ISI Yogyakarta), serta Prof Rhenald Kasali, PhD. (Guru Besar Universitas Indonesia, pakar manajemen perubahan) dan dimoderatori oleh Dr Mikke Susanto ini menyuguhkan refleksi mendalam tentang pentingnya transformasi sejati dan kepemimpinan organisasi dalam menghadapi era yang sarat disrupsi, ketidakpastian, serta pergeseran nilai sosial dan ekonomi.
Sebagai penulis buku, Sigit Pramono menyoroti bagaimana proses transformasi organisasi tidak lagi cukup jika hanya bersandar pada pendekatan simbolik. Menurutnya dibutuhkan pendekatan yang lebih dalam agar mampu menyentuh akar nilai dan budaya organisasi. Transformasi organisasi seharusnya tidak dipersempit hanya pada aspek luar.
Ia memperkenalkan istilah “ruwat-citra” yang diambil dari tradisi Jawa meruwat nasib buruk seseorang sebagai metafora transformasi menyeluruh.
"Ruwat-citra adalah cara paling efektif mengomunikasikan perubahan organisasi. Publik sering tidak tahu apa yang terjadi di dalam organisasi, sehingga rebranding menjadi jembatan penting untuk menyampaikan perubahan itu," ujar Sigit saat mengawali diskusi buku, Rabu (24/9/2025), malam.
Berbekal pengalaman panjang sebagai bankir, termasuk saat memimpin transformasi di BNI (2003–2008), serta keterlibatannya dalam pembangunan ulang citra Borobudur, Banyuwangi, dan penguatan ekonomi melalui koperasi dan batik, Sigit menegaskan bahwa perubahan harus menyentuh strategi, budaya, hingga identitas organisasi secara menyeluruh.
"Transformasi sejati itu berisiko, tapi justru di sanalah letak pembelajarannya. Jangan berhenti di permukaan. Dalami sampai ke strategi, budaya, dan nilai organisasi," ucapnya.
Dia menyebut buku ini terbagi dalam dua bagian seperti teori-teori organisasi dan studi kasus nyata. Komunikasi transformasi kadang juga ia lakukan lewat media yang unik, seperti musik jazz.
"Saya juga mengkomunikasikan transformasi ini dengan jazz. Ini yang tidak pernah dilakukan siapa pun," ujarnya.
"Studi kasus menunjukkan bahwa ruwet-citra yang sukses melibatkan lebih dari sekedar perubahan logo ini mencakup perubahan mendalam dalam identitas dan nilai-nilai organisasi yang tercermin dalam semua aspek operasionalnya," ucap Sigit menambahkan.
Pakar branding, Danton Sihombing, yang menjadi narasumber dalam diskusi ini menekankan bahwa rebranding bukanlah proses ringan. Ia menyebut buku ini “rohnya berat” karena menggambarkan transformasi dari pelaku yang telah menempuhnya langsung.
"Ketika berbicara soal rebranding itu tidak mudah dan buku ini rohnya berat. Oleh karena itu kenapa saya kasih topik rethinking brand in the age of transformation. Dipikir ulang, didiskusikan ulang secara terus menerus," ungkap dia.
Danton juga membedah proses ruwat-citra menggunakan tiga sudut pandang strategis mulai dari helicopter view untuk melihat lanskap strategi secara luas, binocular view yang berfokus pada taktik menengah dan microscopic view, ketepatan operasional. Menurutnya di era transisi digital dan keberlanjutan ini, proses branding adalah proses hidup yang harus terus bertransformasi agar tetap bermakna.
"Mudah-mudahan bisa memberikan gambaran dimensi transformasi di era saat ini," katanya.
Sementara itu, Kurator dan dosen ISI Yogyakarta, Dr Suwarno Wisetrotomo, menyampaikan transformasi dan ruwat-citra hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang telah 'selesai dengan dirinya sendiri'. Dia memaknai “Betara Kala” sebagai alarm akan bahaya stagnasi.
Dalam konteks hari ini, ruwat-citra diperlukan untuk menyembuhkan bukan hanya organisasi, tapi juga sistem politik dan budaya yang cacat. Ia bahkan menarik kaitan ruwat-citra dengan ekspresi generasi muda saat ini, terutama Gen Z, yang menunjukkan 'kemarahan struktural' akibat krisis ekonomi, kesenjangan politik, dan tekanan hidup.
"Buku hasil kerja intelektual dan pengalaman mengalami manajemen atau kesenian ini terbit tepat waktu. Di tengah situasi sosial, politik ekonomi, dan budaya yang penuh turbelensi, diperlukan panduan dan kepemimpinan transformatif yang menginspirasi. Mas Sigit mengurai dengan sangat menarik perkara ini transformasi dan ruwat-citra. Kasus-kasus (di dalam buku -Red) ini menunjukkan bahwa transformasi dan ruwat-citra hanya mungkin dilakukan dan berhasil jika betumpu pada proses yang mendukung, memahami realitas dan analisis yang mantap," ucapnya.
Tak jauh berbeda dari narasumber lainnya, Prof Rhenald Kasali, Guru Besar Universitas Indonesia menyebut ruwat-citra sebagai transisi dari entitas yang semula hanya komoditi menuju brand yang memiliki nilai dan makna.
"Ruwat-citra bukan sekadar ganti nama, di situ juga ada kesadaran, ada perubahan gaya hidup, ada perubahan perilaku, penyesuaian-penyesuaian," katanya.
Ia mengungkapkan perubahan teknologi dan gaya hidup memaksa organisasi untuk tidak hanya mengikuti zaman, tapi juga membentuk narasi dan nilai baru yang relevan dengan audiens digital saat ini. Fenomena algorithm branding juga ikut disoroti olehnya, di mana keberhasilan suatu citra sangat tergantung pada cara ia diperbincangkan dan disebarluaskan melalui algoritma media sosial.
"Kalau sekarang kita masuk, kita tidak laku hari ini karena kita ngomongnya konsep lama, jadul, karena orang tua meninggalkan social media, kita hanya kasih riset ilmiah," ungkap dia.
Lebih jauh, Rhenald juga mengingatkan perubahan tidak terjadi di ruang hampa. Saat ini, masyarakat hidup dalam era algoritma, di mana persepsi publik bisa dibentuk, dikonstruksi, bahkan dimanipulasi lewat media sosial. Di sinilah ia mengajak pentingnya memahami algorithm branding.
Menurutnya, perubahan dan citra saat ini juga bersifat non-linier. Bahkan di media sosial pun ada buzzer-buzzer yang memburu isu, membentuk narasi, dan menggiring opini publik. Ini membuat proses branding yang tidak berbasis pada pemahaman algoritma menjadi usang dan kurang relevan.
"Poin saya begini, Ini era algorithm. Jadi kita belajarnya algorithm branding. Kenapa? Karena bisa diciptakan, bisa di-framing orang. Di-frame dengan social media itu luar biasa dampaknya," ujarnya.