TEMPO.CO, Jakarta - Tanah bergerak telah merusak jalan kabupaten dan jaringan listrik serta belasan rumah di Desa Ratamba, Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Bencana yang telah terjadi sejak 21 Januari 2025 itu kini masih mengancam puluhan rumah lainnya.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari menuturkan, tanah bergerak mengakibatkan amblesan pada jalan penghubung antara Kecamatan Pejawaran dan Kecamatan Batur. Pergerakan tanah hingga membuatnya merekah berangsur dari area ketinggian bagian timur menuju lereng ke arah barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Hasil kaji cepat sementara, terdapat lima titik rekahan dengan kedalaman amblesan 70 hingga 200 sentimeter," kata Muhari melalui keterangan tertulis, Sabtu 1 Februari 2025.
Data sementara hingga hari ini, kata Muhari, bencana tanah bergerak di Desa Ratamba itu sudah menyebabkan 16 rumah warga rusak berat dan 39 rumah terancam. Beberapa rumah terlihat sampai roboh. Ada juga yang terbenam ke dalam tanah hingga setengah bangunan, bahkan hingga hanya menyisakan atapnya saja.
"Kondisi jalan kabupaten pun mengalami keretakan dan mustahil dilewati kendaraan roda empat atau lebih," kata Muhari.
Pergeseran Lapisan Tanah Masih Terus Terjadi
Muhari mengungkapkan, hasil pemantauan gerakan tanah oleh Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah pada 25 Januari 2025 mendapati pergeseran lapisan tanah masih terus terjadi. Hal itu ditunjukkan dengan kondisi jarak antar rumah yang semakin menumpuk dan bagian rumah yang terbenam.
Bencana tanah bergerak di Desa Ratamba, Kecamatan Pejawaran, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, 22 Januari 2025. Hingga saat ini, Sabtu 1 Februari 2025, pergerakan tanah masih terus terjadi dan mengancam lebih banyak bangunan. Foto: BPBD Kabupaten Banjarnegara
Perkembangan pergerakan tanah juga semakin menggerus dengan kedalaman rata-rata menjadi kurang lebih tiga meter. "Kemudian panjang pergerakan yang awalnya dari dua meter menjadi lima meter, serta dijumpai singkapan lapisan batu lempung yang diduga menjadi batuan dasar sebagai bidang gelincir."
Di sisi lain, Muhari menambahkan temuan yang didapat, dijumpai adanya akumulasi beberapa mata air yang tertangkap pada lapisan lempung sehingga terjadi genangan pada permukaan. Dari hasil analisis sementara, faktor pemicu terjadinya pergerakan tanah tersebut adalah intensitas hujan tinggi yang telah menyebabkan tanah menjadi jenuh air dan mudah bergerak ke tempat yang lebih rendah.
Hujan yang Sama Picu Bencana di Pekalongan
Hasil pantauan dan analisis Stasiun Klimatologi Kelas I Jawa Tengah pada dasarian II Januari 2025, curah hujan di Banjarnegara dan beberapa wilayah lain di Jawa Tengah berada di atas 300 milimeter atau kriteria sangat tinggi. Curah hujan yang sama diyakini memicu bencana hidrometeorologi basah bertubi-tubi di sejumlah wilayah di Jawa Tengah: banjir dan tanah longsor di Pekalongan dan Kendal, serta banjir di Grobogan dan Demak.
Muhari menganalisis, jika ditarik garis lurus, jarak antara Desa Ratamba dengan Desa Kasimpar, Kecamatan Petungkriyono, yang menjadi lokasi bencana tanah longsor di Kabupaten Pekalongan dengan korban jiwa 25 orang hanya terpaut jarak 30 kilometer. "Artinya bisa dikatakan bahwa memang curah hujan yang sangat tinggi terkonsentrasi di wilayah tersebut pada saat itu," kata dia.
Sebuah mobil terjebak lumpur saat longsor di Desa Kasimpar di Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, 22 Januari 2025. ANTARA/Harviyan Perdana Putra
Selain curah hujan, faktor pemicu bencana tanah bergerak adalah saluran drainase dan sungai yang dibangun belum sepenuhnya menggunakan material kedap air sehingga terjadi peresapan air. Hasil temuan fakta di lapangan, jalan penghubung Kecamatan Pejawaran-Kecamatan Batur dibangun di atas batu lempung Formasi Kalibiuk (Tpb), lapisan batu lempung (lapisan impermeabel).
Oleh sebab itu, ketika curah hujan tinggi, drainase yang buruk menyebabkan tanah menjadi jenuh air dan mudah bergerak. Di samping itu, Muhari menjelaskan, terjadi peningkatan tekanan air pori ditambah bobot massa tanah dan berkurangnya daya ikat tanah turut mendukung terjadinya bencana tersebut.
Analisis selanjutnya adalah berdasarkan komposisi material penyusun longsoran dan jenis pergerakan yang teramati. Interpretasinya, longsoran itu berjenis debris slide dengan arah pergerakan relatif ke barat daya. "Fenomena pergerakan tanah susulan masih sangat berpotensi terjadi jika curah hujan di wilayah itu masih tinggi dalam durasi yang cukup lama," kata Muhari.
Solusi Jangka Pendek dan Panjang
Sebagai upaya antisipasi dan penanganan darurat, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banjarnegara segera membantu evakuasi warga terdampak maupun yang terancam. Mereka diungsikan sementara di dua desa, masing-masing 62 jiwa di Kalireng, Ratamba dan 7 jiwa di Desa Biting.
Dijanjikan pula oleh Pemerintah Kabupaten Banjarnegara yang akan segera menyiapkan hunian sementara (huntara) bagi warga terdampak dan yang kehilangan tempat tinggal akibat bencana tanah bergerak tersebut. "Pemkab menargetkan huntara tersebut selesai dibangun dan dapat ditempati sebelum hari Raya Idul Fitri 2025 pada awal bulan April mendatang," kata Muhari.
Menurut Muhari, BNPB telah mengirimkan tim ahli bersama personel dari Kedeputian Bidang Penanganan Darurat. Mereka bertugas membuat kajian awal sebagai tindak lanjut pemberian dukungan pada fase tanggap darurat sebagai solusi jangka pendek termasuk rencana pemulihan serta rehabilitasi dan rekonstruksi.
Lokasi bencana tanah bergerak di kawasan dataran tinggi Dieng Desa Ratamba, Pejawaran, Banjarnegara, Jawa Tengah, 28 Januari 2025. Antara/Anis Efizudin
Fenomena pergerakan tanah di Banjarnegara yang diprediksi masih terjadi, kata dia, diharapkan menjadi perhatian bagi warga sekitar untuk selalu meningkatkan kewaspadaan, khususnya selama periode musim hujan. "Evakuasi sementara ke tempat yang lebih aman menjadi solusi yang tepat untuk dilakukan demi menghindari jatuhnya korban jiwa," kata dia.
Muhari mengatakan monitoring secara berkala lereng tebing, perbukitan hingga sepanjang aliran sungai menjadi penting untuk dilakukan mengingat potensi risiko bencana hidrometeorologi basah masih sangat tinggi. Apabila terdapat retakan tanah atau patahan yang terlihat, kata Muhari, sebaiknya segera dilaporkan kepada pihak berwenang dan hindari melakukan aktivitas di sekitarnya.
"Reboisasi dan pemulihan vegetasi dengan jenis tanaman berakar kuat bernilai ekonomis di area tandus yang memiliki potensi risiko tinggi pergerakan tanah hingga banjir bandang dapat menjadi solusi mitigasi jangka panjang," katanya.