TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) mengapresiasi pernyataan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Marthinus Hukom yang mengatakan lembaganya akan meriset ganja untuk medis. Direktur LBHM Albert Wirya mengatakan upaya penelitian ini perlu melibatkan publik dan partisipatif secara luas.
“Pemerintah harus menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok yang miskin, mereka yang sakit, masyarakat adat, dengan memastikan riset tersebut bersifat komprehensif, partisipatif, akademis, dan transparan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa, 6 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski mendukung, LBHM memberikan lima poin rekomendasi supaya riset yang akan dilakukan membawa kejernihan dalam menilai ganja dan narkotika lainnya. Pertama, riset tidak boleh hanya pada mengukur kadar toksisitas, namun juga manfaat pengobatan dan meredakan rasa sakit pada penyakit tertentu.
Ini berdasarkan pada upaya Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan yang pernah melakukan judicial review terhadap Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2020. Argumentasi yang diberikan adalah ganja untuk medis bermanfaat untuk mengurangi penderitaan terhadap orang yang mengidap penyakit tertentu.
MK menolak seluruh permohonan koalisi dalam uji materi tersebut berdasarkan Putusan Nomor 106/PUU-XVIII/2020 pada 30 Juni 2022. Namun MK memerintahkan pemerintah melakukan penelitian terhadap narkotika golongan I yang di dalamnya mencakup ganja, untuk kepentingan pengobatan dan/atau terapi.
Menurut Albert Wirya, adanya penelitian terhadap ganja bisa memberikan informasi berimbang kepada masyarakat dari sudut pandang medis. “Bukan hanya terjebak dalam melihat toksisitas ganja,” ucapnya.
Poin kedua dari LBHM adalah pemerintah harus membuka keterlibatan publik bermakna dalam kegiatan riset. Tidak hanya Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) atau Kementerian Kesehatan saja, namun juga mengajak masyarakat sipil dan akademisi yang fokus pada isu ini.
Ketiga, penelitian ini juga harus mencakup pemanfaatan ganja oleh masyarakat adat. Riset harus menangkap kekhususan masyarakat adat dalam mengelola tanaman tersebut yang sudah selama ratusan tahun.
Keempat, LBHM meminta masyarakat transparan dalam pelaksanaan riset yang mencakup waktu, rencana kerja, metode penelitian, tim peneliti, dan lain-lain. “Dengan transparansi ini, masyarakat sipil dapat memastikan padanan dan arah riset dijalankan sesuai dengan standar-standar akademik yang ada,” ucap Albert.
Kelima, LBHM menyarankan adanya pembuatan regulasi transisi semacam peraturan pemerintah atau peraturan setingkat menteri untuk melakukan kegiatan riset secara legal, transparan, dan akuntabel. Setelah itu adalah merevisi undang-undang yang selama ini memberikan pengecualian untuk kepentingan medis berbasis bukti.
Isu ganja untuk medis ini mencuat kembali ketika BNN bersama Komisi III DPR RI melakukan rapat kerja pada Senin, 5 Mei 2025. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengkritik lambannya pemerintah untuk melakukan riset terhadap narkotika golongan I, terutama ganja, padahal sudah diperintahkan oleh MK.
Akibatnya, menurut Hinca, salah satu anak bernama Pika Sasikirana yang menderita Cerebral Palsy, justru meninggal karena hambatan legalitas medis. Padahal Pika pernah menjalani pengobatan dengan produk medis dari ganja untuk mengurangi penderitaan.
Kepala BNN Marthinus Hukom pun memohon diberikan waktu untuk melakukan penelitian ini, selain dilakukan dengan Kementerian Kesehatan dan BRIN. “Apakah bisa dilegalkan untuk masalah kesehatan, kami butuh hasil riset yang lebih akurat,” ujar Marthinus di DPR, pada Senin lalu.
Sebagaimana diketahui, ganja termasuk dalam narkotika golongan I menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Narkotika golongan I dilarang untuk kepentingan pelayanan kesehatan, hanya diperbolehkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium.