Cara Menyiasati No Buy Challenge: Tetap Beli, tetapi ...

2 hours ago 5

CANTIKA.COM, Jakarta - No Buy Challenge merupakan sebuah gerakan yang muncul dengan tujuan mengurangi konsumsi berlebihan dan mendorong gaya hidup minimalis. Tren ini merupakan ajakan supaya masyarakat tidak membeli barang non-esensial.

Data Snapchart menunjukkan motivasi utama sebagian besar masyarakat Indonesia dalam melakukan No Buy Challenge, yakni bersiap menghadapi ketidakpastian ekonomi di tahun 2025, yang diikuti dengan antisipasi terhadap perubahan regulasi pemerintah yang sering terjadi. Persoalannya, apakah seseorang bisa benar-benar melakukan No Buy Challenge, sementara ada kebutuhan yang harus tetap dipenuhi.

Head of Deposit and Wealth Management UOB Indonesia, Vera Margaret mengatakan, tidak semua orang melakukan tren No Buy Challenge secara utuh. Mengutip survei Snapchart, Vera menjelaskan, ada empat perilaku belanja masyarakat Indonesia di tengah upaya untuk menabung dan mengikuti aksi No Buy Challenge.

"Ada empat perilaku belanja masyarakat Indonesia dalam No Buy Challenge," kata Vera dalam acara media literacy "Investasi via Digital: Strategi Kelas Menengah di Tengah Biaya Hidup Tinggi serta Gejolak Pasar" di Jakarta, pada Selasa, 11 Maret 2025. Pertama, beralih ke produk atau merek yang lebih murah alias substitusi produk; selalu belanja saat ada diskon atau promo menarik; memutuskan tidak berpartisipasi dalam tantangan No Buy Challenge; dan membeli produk dalam kemasan kecil, seperti sachet.

Lantas kelas ekonomi sosial mana yang getol melakukan gerakan No Buy Challenge? Vera mengatakan, masih berdasarkan survei online Snapchart, dari 1.236 responden, sebanyak 62 persen menyadari tantangan ini dan 68 persen berpartisipasi di dalamnya, terutama mereka yang berasal dari kelas ekonomi sosial Bawah. Meskipn demikian, ada 21 persen kelompok status ekonomi sosial atas yang masih ragu-ragu apakah mereka akan melakukan No Buy Challenge dan menabung lebih banyak di tahun ini atau tidak.

Adapun lima barang yang paling dibatasi pembeliannya oleh masyarakat Indonesia pada 2025 adalah produk viral, produk atau jasa hiburan, properti, makan di kafe atau restoran, serta produk otomotif. "Di tengah biaya hidup yang tinggi dan gejolak pasar, saya tidak henti-hentinya mengingatkan tentang 'The Budgeting Rule'," kata Vera.

The budgeting Rule terdiri atas tiga komponen, yakni tabungan, keinginan, dan kebutuhan. Porsi tabungan berupa dana darurat dan investasi sebesar 10-20 persen dari pendapatan; porsi keinginan, seperti hiburan, sebesar 5-10 persen, dan untuk kebutuhan, yakni makanan cicilan, dan lainnya, sebesar 70-85 persen.

Pada kesempatan itu, Vera menyampaikan fitur Digital Wealth yang merupakan fitur pembelian dan pengelolaan produk reksadana secara digital di aplikasi UOB TMRW. Melalui fitur terbaru ini, UOB menghadirkan kemudahan bagi nasabah dalam mengakses berbagai pilihan reksa dana yang sesuai dengan profil risiko mereka. "Investasi juga menjadi lebih mudah dengan penjadwalan bulanan, serta mengecek riwayat transaksi atau portofolio investasinya secara digital untuk kenyamanan dan transparansi nasabah," katanya. "UOB Indonesia berharap hadirnya fitur terbaru Digital Wealth di aplikasi UOB TMRW dapat menjadi kontribusi lebih dalam meningkatkan stabilitas keuangan bagi masyarakat."

Chief Economist UOB, Enrico Tanuwidjaja membeberkan tentang penurunan kelas menengah di tengah gejolak ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk yang tergolong kelas menengah menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir. Dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Artinya, ada sekitar 9,48 juta orang yang keluar dari kategori kelas menengah dan turun ke kategori yang lebih rendah.

Penurunan ini diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk yang masuk dalam kategori aspiring middle class atau kelompok yang ada di antara kelas menengah dan rentan miskin. Data BPS menunjukkan pada 2024, sebanyak 137,5 juta orang atau 49,22 persen dari total penduduk masuk dalam kategori ini. BPS juga memperingatkan banyak dari penduduk kelas menengah saat ini berada di ambang batas bawah kelompok mereka dengan pengeluaran rata-rata sekitar Rp 2,04 juta per kapita per bulan. 

Dengan kondisi tersebut, bakal terjadi kerentanan jika terganggu dan kelompok ini akan masuk kembali ke aspiring middle class. "Terlebih dengan situasi inflasi yang diproyeksikan terus meningkat setiap tahunnya, UOB Indonesia memandang pentingnya perencanaan keuangan yang lebih cermat untuk menjaga stabilitas dan ketahanan finansial kelas menengah," ujar Enrico.

Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2024 yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BPS menyebutkan, tingkat literasi keuangan penduduk Indonesia berada di angka 65,43 persen. Angka ini meningkat signifikan dibandingkan 2013 yang masih 21,84 persen. Meski terlihat positif, literasi keuangan masyarakat masih perlu ditingkatkan sebab masih terdapat gap 9,59 peren dari tingkat inklusi keuangan saat ini yang mencapai 75,02 persen. Artinya, semakin banyak masyarakat yang memiliki akses ke layanan keuangan, namun tidak semuanya memiliki pemahaman yang cukup tentang mengelola keuangan dan investasi secara bijak.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |