Chairul Tanjung Menanggapi Kebijakan Fiskal Prabowo: Pasar Gamang

2 hours ago 8

TEMPO.CO, Jakarta - Pengusaha Chairul Tanjung menilai kebijakan fiskal pemerintah saat ini memberikan sinyal membingungkan bagi pasar. Ia menyoroti pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang memutuskan untuk mengeluarkan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2025 ketimbang menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2025.

Pendiri perusahaan CT Corp ini menjelaskan bahwa APBN 2025 disusun mengikuti asumsi-asumsi yang ada pada masa pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo. Sementara di awal pemerintahan Prabowo terdapat beberapa perubahan, seperti jumlah kementerian dan lembaga yang bertambah dan program-program pemerintah yang sedang diprioritaskan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Nah masuk (pemerintahan) Pak Prabowo itu kementerian berubah jumlahnya, jadi banyak program-programnya juga berubah,” kata Chairul Tanjung, atau yang akrab disapa CT, dalam acara Outlook Ekonomi DPR yang digelar di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan, pada Rabu, 5 Februari 2025.

Tak hanya itu, CT menilai 8 misi pemerintahan Prabowo atau yang dikenal dengan sebutan Asta Cita tidak sejalan dengan asumsi yang mendasari penyusunan APBN 2025. “Asta cita tentu tidak in line dengan apa yang ada sebelumnya.”

Di setiap pergantian pemerintahan, kata mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ini, pemerintahan lama biasanya menyiapkan APBN yang kemudian diubah oleh pemerintahan baru melalui APBN Perubahan atau APBN-P. “Tapi kali ini tidak dilakukan. Nah kalau tidak dilakukan ini menjadi hal yang dilematis, diskresi Kementerian Keuangan menjadi sangat besar,” ujar dia. 

Di lain sisi, Prabowo justru mengeluarkan Inpres pertama dalam pemerintahannya pada 22 Januari 2025. Melalui instruksi yang termaktub dalam Inpres RI Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025, kepala negara memerintahkan kementerian dan lembaga serta kepala daerah untuk melakukan efisiensi anggaran.

“Nah pasar ini menjadi gamang terhadap sinyal yang diberikan,” kata Chairul Tanjung. “Saya sebenarnya lebih berharap ada APBN-P, dengan begitu sinyalnya menjadi lebih clear kepada pasar ke mana arah pemerintahan yang ada.”

CT pun menekankan komunikasi dari pemerintah kepada pasar harus lebih clear. “Lebih jelas karena ini menimbulkan banyak pertanyaan, apalagi kita tahu Inpres Nomor 1 ini juga memotong banyak sekali anggaran di kementerian yang sangat signifikan,” tutur dia. Pebisnis ini berharap pemerintah lebih aktif untuk memberikan sosialisasi tentang kebijakan fiskal berupa perubahan-perubahan anggaran belanja tersebut. 

Adapun berdasarkan postur APBN 2025, penerimaan negara tahun ini ditargetkan sebesar Rp 3.005,1 triliun. Angka itu terdiri dari pendapatan perpajakan sebesar Rp 2.490,9 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 513,6 triliun, dan hibah sebesar Rp 581 miliar. Sedangkan belanja negara ditargetkan Rp 3.621,3 triliun yang terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp 2.701,4 triliun dan transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 919,9 triliun. Dengan demikian, APBN dirancang mengalami defisit Rp 616,2 triliun, atau 2,53 persen terhadap produk domestik bruto. 

Belakangan ini, Prabowo memerintahkan kementerian/lembaga dan kepala daerah untuk berhemat melalui penerbitan Inpres yang diteken pada 22 Januari 2025. 

Dalam instruksi tersebut, Prabowo minta jajarannya untuk melakukan efisiensi atas anggaran belanja negara tahun anggaran 2025 sebesar Rp 306,6 triliun yang terdiri atas efisiensi anggaran belanja kementerian/lembaga sebesar Rp 256,1 triliun, dan efisiensi anggaran transfer ke daerah sebesar Rp 50,5 triliun.

Menindaklanjuti instruksi Prabowo, Menteri Keuangan Sri Mulyani kemudian menerbitkan surat S-37/MK.02/2025 yang mengatur efisiensi belanja K/L untuk tahun anggaran 2025. Dalam lampiran II surat tersebut, tercantum 16 item belanja yang perlu dipangkas anggarannya dengan persentase yang bervariasi, mulai dari 10 persen hingga 90 persen. Rinciannya, efisiensi anggaran pos belanja alat tulis kantor (ATK) sebesar 90 persen; kegiatan seremonial 56,9 persen; rapat, seminar, dan sejenisnya 45 persen; kajian dan analisis 51,5 persen; diklat dan bimtek 29 persen; serta honor output kegiatan dan jasa profesi 40 persen.

Kemudian, percetakan dan souvenir 75,9 persen; sewa gedung, kendaraan, peralatan 73,3 persen; lisensi aplikasi 21,6 persen; jasa konsultan 45,7 persen; bantuan pemerintah 16,7 persen; pemeliharaan dan perawatan 10,2 persen; perjalanan dinas 53,9 persen; peralatan dan mesin 28 persen; infrastruktur 34,3 persen; serta belanja lainnya 59,1 persen.

Bendahara negara meminta menteri dan kepala lembaga untuk melakukan identifikasi belanja yang akan dihemat dan membahasnya dengan mitra komisi di Dewan Perwakilan Rakyat. Hasil revisi akan dikumpulkan ke Kementerian Keuangan paling lambat 14 Februari 2025 mendatang. 

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |