TEMPO.CO, Jakarta - Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan menyatakan kenaikan pajak pertambahan nilai atau PPN 12 persen tidak begitu berpengaruh signifikan bagi masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan adanya kenaikan dari 11 persen menjadi 12 persen hanya berdampak sebesar 0,9 persen.
"Kenaikan PPN 11 persen menjadi PPN 12 persen hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9 persen bagi konsumen,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti, sebagaimana dikutip dari Antara pada Minggu, 22 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai gambaran, untuk minuman bersoda yang dijual dengan harga Rp7.000, pajak pertambahan nilai (PPN) yang dikenakan berdasarkan tarif 11 persen adalah sebesar Rp770. Dengan demikian, konsumen harus membayar total sebesar Rp7.770. Namun, jika tarif PPN dinaikkan menjadi 12 persen, maka pajak yang dikenakan bertambah menjadi Rp840, sehingga total biaya yang harus dibayarkan konsumen menjadi Rp7.840.
Dari ilustrasi ini, dapat dilihat bahwa selisih kenaikan total harga akibat perubahan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya sebesar Rp70. Nilai ini setara dengan 0,9 persen dari total harga sebelum kenaikan, yaitu Rp7.770. Meski secara nominal terlihat kecil, kenaikan ini tetap memberikan dampak pada total pembayaran konsumen, terutama jika diterapkan pada barang-barang dengan harga lebih tinggi atau dalam jumlah yang lebih besar.
Kenaikan tarif PPN ini juga berdampak serupa pada barang lain, seperti televisi. Misalnya, untuk televisi dengan harga jual Rp5 juta, PPN yang dikenakan pada tarif 11 persen adalah sebesar Rp 550 ribu, sehingga total biaya yang harus dibayar konsumen menjadi Rp 5,55 juta. Ketika tarif PPN naik menjadi 12 persen, jumlah pajak yang dikenakan bertambah menjadi Rp 600 ribu, sehingga total harga yang harus dibayar meningkat menjadi Rp5,6 juta.
Dari perhitungan tersebut, selisih kenaikan harga total akibat perubahan tarif PPN dari 11 persen ke 12 persen adalah Rp50 ribu. Jika dibandingkan dengan harga sebelumnya sebesar Rp5,55 juta, kenaikan ini setara dengan 0,9 persen.
Meskipun persentase kenaikannya kecil, penerapan tarif baru ini bisa terasa lebih signifikan jika konsumen membeli barang dengan harga yang lebih mahal atau dalam jumlah banyak, sehingga berpotensi memengaruhi daya beli mereka.
“Kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa,” ucap Dwi.
Dalam laporan terpisah, Center of Economics and Law Studies (Celios) menyampaikan bahwa kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen diperkirakan akan berdampak signifikan terhadap pengeluaran rumah tangga, khususnya pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah. Menurut analisis Celios, kelompok masyarakat miskin diperkirakan akan mengalami kenaikan pengeluaran bulanan sebesar Rp101.880 sebagai akibat dari penerapan tarif PPN baru ini.
Sementara itu, kelompok masyarakat kelas menengah diproyeksikan menghadapi peningkatan pengeluaran yang lebih besar, yaitu mencapai Rp 354.293 per bulan. Perhitungan ini tidak dibuat secara sembarangan, melainkan berdasarkan pengolahan data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Data tersebut mencakup rincian pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan makanan dan nonmakanan, yang kemudian dikombinasikan dengan asumsi tingkat inflasi sebesar 4,11 persen.
Celios juga mengidentifikasi fenomena pre-emptive inflation sebagai salah satu faktor utama yang mendorong kenaikan inflasi. Fenomena ini terjadi ketika pelaku usaha, baik di sektor ritel maupun manufaktur, memilih untuk menaikkan harga barang dan jasa lebih awal sebelum tarif baru resmi diberlakukan. Langkah ini dilakukan untuk menjaga margin keuntungan mereka, mengantisipasi kenaikan biaya produksi atau distribusi akibat perubahan tarif pajak. Pada November 2024, data menunjukkan bahwa inflasi year-on-year (yoy) berada di angka 1,55 persen, namun tingkat inflasi tersebut diprediksi akan meningkat seiring dengan implementasi tarif PPN baru.
Kenaikan harga barang dan jasa sebagai dampak langsung dari kebijakan ini diperkirakan mulai terlihat menjelang akhir tahun 2024 dan berlanjut hingga kuartal pertama 2025. Momen ini juga bertepatan dengan musim liburan Natal dan Tahun Baru 2025, yang biasanya ditandai dengan meningkatnya permintaan konsumen. Kombinasi antara tarif PPN yang lebih tinggi dan lonjakan permintaan musiman akan mendorong harga barang dan jasa naik lebih signifikan.
Celios menekankan bahwa dampak dari kenaikan tarif PPN ini akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, namun kelompok miskin dan kelas menengah cenderung lebih rentan karena porsi pengeluaran mereka untuk kebutuhan sehari-hari, seperti makanan dan kebutuhan pokok lainnya, relatif lebih besar dibandingkan kelompok kaya. Kebijakan ini juga berpotensi mengurangi daya beli masyarakat, terutama di tengah situasi ekonomi yang sedang menghadapi tantangan global.
Dengan demikian, Celios mengimbau pemerintah untuk memitigasi dampak negatif dari kebijakan PPN 12 persen ini, misalnya melalui pemberian bantuan sosial yang tepat sasaran atau program subsidi untuk kebutuhan pokok.