Dua Pertimbangan Ini Landasi Presiden Memimpin Komisi Reformasi Polisi

2 hours ago 6

 Dok RUZKA INDONESIA)Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA–REPUBLIKA NETWORK – Presiden Prabowo Subianto diminta memimpin langsung Komisi Reformasi Polri tentu beralasan dan masuk akal. Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta M Jamiluddin Ritonga melihat ada dua pertimbangan yang mendasari permintaan tersebut.

"Pertama, Presiden sebagai kepala negara menjalankan kekuasaan eksekutif untuk mengelola administrasi negara, termasuk membuat pengaturan dan keputusan presiden. Sebagai kepala pemerintahan, maka semua unsur di Polri mulai dari yang berpangkat paling rendah hingga bintang empat akan tunduk dan patuh atas semua arahan presiden," ungkapnya kepada RUZKA INDONESIA, Ahad (14/09/2025) petang.

Menurut Jamil, Komisi Reformasi Polri dapat bekerja efisien dan efektif. Tekanan dari internal Polri, termasuk tekanan dari petingginya, dengan sendirinya dapat diatasi.

Jadi, Komisi Reformasi Polri dapat bekerja tanpa tekanan dari mana pun. Dengan begitu, Komisi Reformasi Polri dapat memformulasikan fungsi dan tugas Polri yang sesuai dengan negara demokrasi.

"Dua, kalau presiden yang memimpin Komisi Reformasi Polri, maka keputusan yang diambil tidak lagi berupa rekomendasi. Sebab, banyaknya komisi selama ini hanya menghasilkan rekomendasi, sehingga suatu institusi berhak untuk tidak melaksanakannya. Akibatnya, banyak hasil kerja komisi yang diabaikan begitu saja," tandas mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta ini.

Kalau presiden yang memimpin Komisi Reformasi Polri, lanjutnya, maka hasilnya dimungkinkan berupa keputusan. Konsekuensinya, Polri wajib melaksanakan semua keputusan Komisi Reformasi Polri. "Bahkan presiden sebagai kepala pemerintahan memiliki hak memaksa agar keputusan Komisi Reformasi Polri dilaksanakan," tegasnya.

Hanya saja keputusan yang diambil Komisi Reformasi Polri harus sesuai dengan tuntutan negara demokrasi. Polisi diarahkan agar berperan menjaga dan mengawal proses demokrasi, melindungi hak asasi manusia serta bertindak netral dan profesional sebagai pelayan masyarakat.

Menurutnya, netral berarti Polisi bersikap tidak memihak, tidak diskriminatif, dan bebas dari kepentingan politik. Hal ini diperlukan agar polisi mendatang tidak lagi digunakan untuk kepentingan politik praktis, termasuk intervensi politik.

"Untuk itu, polisi harus disiapkan agar profesional. Artinya, Polisi bekerja dengan keahlian dan ketrampilan berdasarkan penghormatan terhadap hak azasi manusia," tambahnya.

Dengan begitu, polisi nantinya bertugas melindungi warga dari ancaman kejahatan dan memastikan keamanan masyarakat berjalan lancar. Polisi benar-benar akan menjadi pelayan masyarakat sipil yang akuntabel dan responsif terhadap kebutuhan warga.

Semua itu, lanjutnya, dapat diwujudkan bila polisi bertanggung jawab kepada publik dan patuh pada hukum serta aturan yang berlaku. Polisi tidak lagi terombang-ambing oleh kepentingan politik.

"Setidaknya hal itu termaktub dalam bahasan Komisi Reformasi Polri. Hal ini diperlukan agar warisan otoritarianisme yang berorientasi pada stabilitas politik yang masih melekat di Polri dapat ditiadakan. Sebab, hal itu sudah tidak sesuai dengan tuntutan demokrasi," cetusnya. (***)

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |