Dugaan Pengoplosan BBM dalam Kasus Korupsi Minyak, Pertamina: Yang Dijual Sesuai Spek Dirjen Migas

4 hours ago 7

TEMPO.CO, Jakarta - Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso mengklaim kasus dugaan korupsi yang terjadi di subholdingnya, termasuk PT Pertamina Patra Niaga, tidak merugikan masyarakat.

Adapun seiring penetapan Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Kejaksaan Agung menyampaikan bahwa dalam pengadaan produk kilang oleh Pertamina Patra Niaga, Riva melakukan pembelian atau pembayaran untuk BBM RON 92 padahal sebenarnya membeli RON 90 atau lebih rendah. Dari pembelian itu, kemudian dilakukan blending di storage atau depo untuk menjadi RON 92.

“Untuk kualitas BBM, kami pastikan bahwa yang dijual ke masyarakat sesuai dengan spek yang sudah ditentukan Dirjen Migas (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau Kementerian ESDM),” kata Fadjar ketika ditemui wartawan usai rapat bersama Komite II DPD RI di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin, 25 Februari 2025.

Fadjar memastikan tidak ada BBM oplosan yang beredar di masyarakat. Menurut dia, kualitas BBM dicek secara berkala  di Lembaga Minyak dan Gas Bumi atau Lemigas. “Kami juga melakukan pengecekan sendiri,” kata Fadjar. Karena itu, ia mengklaim masyarakat mendapat kualitas BBM sesuai dengan spek yang dibeli.

Kronologis Kasus 

Kejaksan Agung menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) periode 2018-2023 pada Senin, 24 Februari 2025. Empat dari tujuh tersangka itu merupakan Direktur Sub Holding Pertamina. Sementara tiga tersangka lainnya dari broker swasta. Korupsi ini diperkirakan merugikan negara sebesar Rp 193,7 triliun.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Abdul Qohar mengatakan berdasarkan penyidikan kejaksaan, tiga Direktur Sub Holding Pertamina sengaja mengkondisikan melalui rapat optimasi hilir untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya. “Akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor,” ujar Qohar di Gedung Kejagung, Senin, 24 Februari 2025.

Penyelenggara itu meliputi Direktur Utama Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Sani Dinar Saifuddin, dan  Vice President (VP) Feedstock Management PT  Kilang Pertamina Internasional (KPI) Agus Purwono. Saat produksi kilang sengaja diturunkan, Sub Holding PT Pertamina ini sengaja ditolak.

Alasan mereka menolak karena produksi minyak mentah KKKS tidak memenuhi nilai ekonomis. Faktanya, harga yang ditawarkan masih masuk range HPS. Menurut Qohar, Pertamina juga berdalih spesifikasi minyak mentah yang ditawarkan KKKS tidak sesuai kilang, padahal sudah sesuai dan dapat diolah.

Bukan hanya Sub Holding PT Pertamina yang bermain, tetapi juga KKKS. Penolakan yang dilakukan oleh Pertamina atas tawaran KKKS  menjadi dasar persetujuan ekspor broker. Sebab dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 disebutkan bahwa KKKS harus lebih dulu menawarkan produksi minyak mentah mereka ke Pertamina. Ketika Pertamina menolak, mereka baru bisa ekspor. Regulasi itu mengatur Pertamina harus mengutamakan pasokan minyak bumi dalam negeri sebelum memutuskan impor. 

PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) mengimpor minyak mentah, sementara PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang. “Dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi,” ujar Qohar. Penyidik kejaksaan menemukan adanya pemufakatan jahat dari impor yang dilakukan keduanya. 

Pemufakatan itu melibatkan Sani, Riva, Agus dan tersangka Direktur PT Pertamina Internasional Shipping Yoki Firnandi. Mereka dari pihak penyelenggara negara. Keempat tersangka itu bekerja sama dengan broker, yakni Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Keery Andrianto Riza, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati, dan Komisaris PTJenggala Maritim sekaligus PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede.

Dalam pengadaan impor tersebut, Riva diduga melakukan pengadaan produk kilang dengan membeli RON 92 atau Pertamax. Padahal kenyataannya yang dibeli adalah Ron 90 atau pertalite. Kemudian dilakukan blending di depo untuk menjadi RON 92. Qohar menegaskan, hal itu jelas tidak diperbolehkan. 

Sementara tersangka Yoki dalam melakukan pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina International Shipping diduga sengaja melakukan mark-up sebesar 13 persen hingga 15 persen. Hal itu menguntungkan pihak broker, yakni Kerry. "Nah, dampak adanya impor yang mendominasi pemenuhan kebutuhan minyak mentah, harganya menjadi melangit," ujar Qohar.

Jihan Ristiyanti berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Rosan, Dony, Erick, hingga Sri Mulyani Rangkap Jabatan di Danantara, Ini Kata Pakar

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |