Election Corner UGM Tunjukkan Gejala-gejala Dominasi Koalisi Besar pada Pilkada 2024

4 hours ago 5

TEMPO.CO, Jakarta - Election Corner Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) menggelar press release hasil penelitian bertajuk Peta Koalisi Pemenang pada Pilkada Serentak 2024 di Indonesia

Salah satu hasil temuan dari Election Corner adalah jenis-jenis koalisi yang mendominasi. Bahkan, koalisi-koalisi tersebut membuat hasil Pilkada 2024 di beberapa daerah sudah bisa diprediksi siapa pemenangnya saat masa pra-pemilihan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Data Election Corner menunjukkan bahwa sebanyak 419 daerah yang kontestasinya sudah selesai di tahap pra-pemilihan atau persentasenya hampir 75,96 persen. Ini gabungan dari Grand Coalition, Surplus Majority Coalition, dan Minimally Winning Coalition.

“Jadi hanya ada 199 daerah yang menang dari kombinasi calon independen dan juga Minimum Winning Coalition atau hanya sekitar 23,66 persen saja atau kurang dari seperempat dari 545 pemilihan kepala daerah,” kata Perwakilan Election Corner Akhmad Fadilah Santoso, Rabu, 5 Maret 2025, di Laboratorium Big Data Fisipol UGM.  

Koalisi-koalisi besar itu di beberapa daerah hanya melawan kotak kosong. Fenomena kotak kosong dilandasi pada faktor koalisi yang memiliki faktor finansial dan sosial yang kuat. “Koalisi yang besar tersebut kemudian menimbulkan scare of effect yang membuat 75,96 persen Pilkada 2024 sangat minim kompetisi. Sebagian besar itu pemenang Pilkada dan sudah bisa diketahui pemenangnya siapa sejak tahap pra-pemilihan,” ujarnya. 

Merespons temuan tersebut, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Alfath Indonesia mengatakan bahwa ada beberapa gejala yang melatarbelakangi adanya koalisi-koalisi besar

Secara nasional, fenomena koalisi-koalisi besar tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor kunci. Salah satu faktornya adalah biaya politik semakin mahal dari waktu ke waktu. “Banyak faktor yang membuat biaya politik semakin mahal. Pertama, jumlah daerah makin banyak, tingkat inflasi, dan biaya money politics yang jumlahnya luar biasa,” kata Alfath. 

Menurutnya, money politics menjadi salah satu faktor dominan yang membuat biaya politik sangat mahal. Ia pun mengaitkan hal tersebut dengan mengatakan bahwa pragmatisme telah menjadi ideologi di masa kini. 

“Jadi kalau kita misalnya dulu di mata kuliah pengantar politik belajar ideologi-ideologi, kapitalisme, terus kemudian sosialisme, komunisme, jangan-jangan pragmatisme itu telah menjadi ideologi dasar dari negara ini,” ujar Alfath. 

Money politics menurut Alfath bisa membuat orang berpindah dari satu titik ke titik yang lain tanpa harus menjalani rekrutmen partai politik atau kaderisasi berjenjang di partai politiknya. “Mereka bisa langsung pindah partai atau masuk ke dalam partai karena punya modal kapital yang luar biasa,” ujarnya. 

Alfath juga menjelaskan dalam sistem politik Indonesia saat ini, hanya memungknkan dua aktor utama yang bisa terlibat dalam mekanisme pemilu/pilkada. Pertama, adalah mereka yang memiliki latar belakang family politics atau politik dinasti. “Bapak, ibunya, tantenya, omnya, keluarganya, itu merupakan aktor politik yang kemudian mengajak saudara dan kolega untuk terlibat dalam politik,” katanya. 

Adapun aktor kedua adalah seseorang atau kelompok yang berasal dari kalangan pengusaha atau oligarki. “Jadi mereka punya kapital kuat tetapi mereka ingin melakukan ekspansi kapital dengan menjadi regulator sekaligus player,” ujar Alfath. 

Kemudian, gejala lainnya adalah mobilisasi Aparatur Sipil Negara dan Aparat Penegak Hukum dalam upaya pemenangan salah satu pasangan calon.  

Alfath juga mengatakan adanya kartel politik atau kapal penawar elite yang turut menjadi wajah buruknya sistem demokrasi saat ini. Menurutnya, banyak sekali prinsip-prinsip demokrasi yang dihilangkan. 

“Ini terbukti dari berbagai macam indikator seperti indeks demokrasi yang diukur dari Freedom Institute dan Freedom House. Semuanya sepakat bahwa saat ini terjadi democratic back-siding yang menyebabkan konteks demokrasi saat ini setara dengan demokrasi yang ada pada 1985,” lanjut Alfath. 

Selain itu, Alfath juga menyoroti kondisi demokrasi yang merawat kemiskinan dan kebodohan sebagai komoditas politik . Menurutnya, orang-orang tersebut sangat rentan karena tidak punya opsi profesi dan pilihan hidup. 

Untuk mengatasi masalah itu, Alfath mengatakan bahwa harus ada perbaikan kebijakan publik dan upaya penyelesaian persoalan kemiskinan, ketimpangan, dan kebodohan. “Karena menjadi sakit, miskin, dan tidak terdidik adalah sesuatu yang sangat menyakitkan bagi masyarakat,” kata dia.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |