TEMPO.CO, Jakarta - Aksi serentak dengan isu bela Palestina di 22 titik di seluruh wilayah Indonesia pada Ahad, 2 Februari 2025, mengundang keresahan di masyarakat karena diduga merupakan agenda organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Unjuk rasa ini ditengarai merupakan lanjutan dari demonstrasi yang sebelumnya digelar di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta Pusat, pada Ahad, 26 Januari 2025. "Kalau dikumpulkan, mungkin kemarin untuk estimasinya dari beberapa wilayah ada sekitar 30 ribu orang," kata Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia PBNU M. Najih Arromadloni saat ditemui di Jakarta Selatan, pada Rabu, 5 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data yang diterima Tempo, massa demo paling banyak di Jawa Timur, sekitar 2.500 orang. Kemudian di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan sekitar 2 ribu orang. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, tercatat demo itu dihadiri massa 1.500 orang.
Dalam demonstrasi tersebut, massa tampak membawa sejumlah atribut, sebagaimana demo pada umumnya. Di antaranya ada bendera tauhid, hingga sejumlah spanduk dan poster dengan bermacam-macam tulisan.
Menurut Najih, demonstrasi pada Ahad lalu itu sebetulnya bukan yang pertama kali di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. HTI diduga sudah melakukan demo beberapa kali, diperkirakan hampir setiap pekan. "Tapi memang yang kemarin termasuk yang paling besar karena berkaitan dengan setidaknya dua momentum sebetulnya," ujar dia.
Dia menuturkan dua momentum yang dimanfaatkan oleh HTI untuk demo sembari menyebarkan paham ideologi mereka, adalah momentum kejatuhan Khilafah Turki Usmani yang bertepatan dengan tanggal 28 Rajab, pada hari Isra Mi'raj. "Makanya kemarin spanduk yang dibentangkan adalah spanduk Isra Mi'raj," kata Najih.
Momen kedua yang dimanfaatkan oleh HTI adalah panasnya isu genosida di Palestina oleh Israel.
Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Strategis dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI) Muhammad Syauqillah juga menyebutkan hal serupa. Sebelum aksi 2 Februari lalu, eks HTI diduga sudah beberapa kali menggelar aksi terselubung.
"Ada beberapa aksi, yang kemudian tidak ada respons serius. Lalu membesar di akhir bulan kemarin dan mungkin ke depan akan membesar kalau tidak ada reaksi yang cukup serius," kata dia saat ditemui di Jakarta Selatan, pada Rabu, 5 Februari 2025.
Dia mengatakan, aksi tersebut memang tidak berupa teror yang berdampak terhadap situasi keamanan negara, namun pada dasarnya yang diperjuangkan oleh Hizbut Tahrir Indonesia adalah mengubah ideologi negara.
"Cukup berbeda dengan teror. Kadang upaya yang dilakukannya itu berbeda dengan teror, walaupun di beberapa negara seperti Yordania atau beberapa negara yang lain yang memiliki tipologi gerakan itu, bekerja menggunakan kekerasan juga. Menurut saya, ini jadi penting untuk era pemerintahan Prabowo," kata Syauqi.
Mantan Pimpinan HTI Bangka Belitung Ayik Heriansyah mengatakan, HTI hingga kini masih menebarkan ideologi Khilafah Islamiyah, melalui banyak nama lain karena HTI telah dibubarkan. Jika HTI berkuasa, kata dia, Indonesia praktis akan kehilangan ideologi Pancasila serta UUD 1945.
"Jadi negara Indonesia ini hilang nanti kalau HTI berhasil merebut kekuasaan," kata Ayik, Rabu sore.
Status badan hukum HTI dicabut pada 10 Juli 2017, dilanjutkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu ) Organisasi Massa pada 19 Juli 2017. Organisasi tersebut dianggap memperjuangkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, yakni khilafah Islamiyah.
Syauqi menjelaskan, tindak pidana terhadap ideologi negara diatur dalam Pasal 188, Pasal 189, dan Pasal 190 KUHP yang berlaku per 2026. "Dengan adanya KUHP ini menurut saya menjadi satu landasan bagi aparat negara untuk bisa menjerat pelaku yang menyebarkan ideologi yang anti-ideologi negara dan bertujuan untuk mengganti ideologi negara," ujar dia.
Taktik membonceng isu
Menurut Syauqi, HTI juga kerap membonceng isu-isu terkini di Indonesia untuk menebarkan ideologi Khilafah Islamiyah. Dia mencontohkan seperti isu Proyek Strategis Nasional (PSN), pagar laut, kemerdekaan Palestina, hingga elpiji 3 kilogram.
Dia menyoroti adanya sejumlah kritik dari HTI soal kebijakan pemerintah, yang ujungnya malah menyuarakan penggantian ideologi negara sebagai solusi.
"Kalau dalam konteks koridor demokrasi di bawah konstitusi bernegara kita, enggak ada masalah. Tapi kalau ujungnya mengganti ideologi negara, itu yang bermasalah. Sudah jelas kita bisa melakukan penegakan hukum atas ini," tutur Syauqi.
Dia menjelaskan, banyak pelaku yang terlibat aksi terorisme punya ideologi dengan berbagai macam nama. Sebut saja Daulah Islamiyah, Khilafah Islamiyah, hingga Darul Islam. Terminologi itu, kata dia, muncul dan menjadi motivasi ideologi.
"Memang belum naik ke level teror, tapi motivasi ideologi ini muncul menjadi faktor penarik dan pendorong orang melakukan aksi terorisme," kata Syauqi.
Khilafah adalah produk politik buatan manusia
Secara tinjauan agama, M. Najih mengatakan bahwa khilafah yang diperjuangkan HTI bukanlah ajaran Islam sama sekali. Khilafah, kata dia, tidak pernah dikenal di dalam teologi Islam. Dia menegaskan, HTI juga bukan organisasi dakwah.
"Jadi, Khilafah ini produk politik biasa yang diciptakan oleh manusia. Sama seperti demokrasi, sama seperti monarki, sama seperti sistem-sistem yang lain yang pernah diproduksi dalam sejarah manusia," kata Najih.
Dia menyebut, mayoritas negara Muslim di dunia telah melarang aktivitas Hizbut Tahrir. Pelarangan tersebut lantaran organisasi ini kerap terlibat teror, hingga terlibat kudeta seperti yang pernah terjadi di Mesir, di Tunisia, dan di beberapa negara lain.
Menurut Najih, HTI sebenarnya adalah organisasi yang identik dengan kekerasan. Baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan verbal. Buktinya adalah keterlibatan mereka dalam beberapa kali kudeta dan peristiwa teror oleh aktivis-aktivis HTI. "Termasuk di tempat saya dulu tinggal, di Suriah. Perang Suriah itu, termasuk yang terlibat juga adalah Hizbut Tahrir," tutur dia.
Pilihan Editor: Bagaimana Sistem Peradilan Memberikan Celah Terjadinya Salah Tangkap