TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan pihak tidak bisa mengintervensi putusan dari hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menolak gugatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang terkait dampak lingkungan Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU Ombilin.
"Keputusan tersebut tentunya telah melalui pertimbangan hakim yang berlandaskan Pasal 92 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur hak gugat organisasi lingkungan hidup," kata Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol kepada Tempo, Jumat, 24 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, pertimbangan hakim lainnya mendasarkan pada ketentuan Pasal 53 Ayat (1) yang mengatur bahwa “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Meski tidak bisa mengintervensi putusan hakim PTUN Jakarta, menurut Hanif, Kementerian telah melakukan langkah berupa pengawasan dan penerapan sanksi administratif terhadap PLTU Ombilin yang bertujuan untuk melakukan perbaikan terhadap kinerja pengelolaan lingkungan
hidup.
Terkait sanksi yang telah dikenakan kepada PLTU Ombilin, Kementerian juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan sanksi administratifnya. "Salah satu sanksi administratif adalah perintah pemulihan lingkungan hidup, dan Kementerian juga melakukan pengawasan terhadap proses pemulihan lingkungan hidup sesuai dan prosedur serta ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun pemulihan telah selesai dengan diterbitkannya Surat Status telah Penyelesaian Lahan Terkontaminasi (SSPLT) dari Kementerian LH," kata Hanif.
Menurut Hanif, dalam rangka mengatasi emisi karbon yang dihasilkan oleh proses pembakaran dari PLTU, Kementerian telah melakukan upaya pengawasan yang secara regular untuk memastikan emisi yang dihasilkan dari kegiatan PLTU tidak mencemari lingkungan dan sesuai
dengan standar atau baku mutu yang berlaku. Ia juga menyebutkan Kementerian telah mendorong diversifikasi bahan bakar fosil.
Selain itu, kata Hanif, Kementerian dapat memperketat kebijakan pengelolaan emisi untuk industri PLTU dengan menetapkan standar yang lebih tinggi dan spesifik untuk limbah yang dihasilkan dari proses ini melalui dokumen lingkungan hidup (AMDAL) atau Persetujuan Lingkungan. "Langkah lainnya dengan penerapan teknologi bersih dan mendorong kegiatan PLTU untuk menggunakan teknologi yang lebih ramah lingkungan sehingga dapat mengurangi emisi karbon yang dihasilkan," kata dia.
Sebelumnya, PTUN Jakarta menolak gugatan LBH Padang agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan pembekuan atau pencabutan izin lingkungan PLTU Ombilin. Kuasa hukum LBH Padang, Adrizal, mengatakan hakim mengabaikan fakta terjadinya pencemaran limbah fly ash dan bottom ash dari PLTU Ombilin yang memaksa masyarakat Desa Sijantang Koto, Kecamatan Tawali, Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat, menghirup udara kotor setiap hari.
Selain itu, kata dia, hakim juga tidak menyadari urgensi tanggung jawab KLHK untuk memperketat pengawasan dan menindak tegas PLN atas pemulihan lingkungan yang seharusnya diselesaikan PLTU Ombilin pada 2019.
Menurut dia, putusan ini memperkuat pembiaran atas ketidaktaatan PLTU Ombilin dalam menjalankan sanksi dan kewajiban-kewajibannya. Hal ini memperkuat kesempatan bagi PLTU Ombilin untuk menyalahgunakan lemahnya penataan dan pengawasan, sedangkan masyarakat terus dibebani dengan ‘ongkos’ kesehatan yang berkepanjangan.
"Pada putusannya, majelis hakim tidak mempertimbangkan efek pencemaran dan kontaminasi terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Seharusnya KLHK melakukan pembekuan dan
pencabutan izin sejak PLTU Ombilin diberikan sanksi,” ujar Adrizal melalui pesan tertulis, Rabu, 22 Januari 2025.
Majelis hakim PTUN Jakarta menolak gugatan LBH Padang dengan alasan LBH Padang bukan organisasi masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan, sehingga tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan Gugatan Tata Usaha Negara (TUN).