TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung menetapkan Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan sebagai tersangka dugaan korupsi bersama 3 petinggi Pertamina lainnya dan 3 pemimpin perusahaan swasta dengan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun.
Penetapan tersangka dugaan korupsi tata kelola minyak dilakukan Senin malam, 24 Februari 2025, beberapa jam setelah Riva menerima penghargaan berupa 12 medali emas Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) Tahun 2024 dan 61 PROPER Hijau, yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup.
Riva dalam rilis yang dikutip Antara, mengatakan pencapaian tersebut membuktikan perusahaan tidak hanya fokus kepada kepatuhan (compliance) dalam menjalankan bisnis, namun lebih dari itu, perusahaan juga fokus dalam aspek environmental, social, and governance (ESG).
"Ini sejalan dengan pembaruan visi Pertamina Patra Niaga, yaitu menjadi perusahaan yang memberikan solusi energi untuk kemandirian dan keberlanjutan," ujarnya.
Dalam hal keberlanjutan tersebut, dari total 36 PROPER Emas yang diraih Pertamina Group, 12 di antaranya berasal dari Pertamina Patra Niaga, yang menjadi bukti nyata perusahaan terus berupaya meningkatkan kontribusi di bidang ESG.
Dirut PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (berdiri tengah membawa piala) ketika perusahaannya meraih 12 Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) Tahun 2024 kategori Emas dan 61 PROPER Hijau., 24 Februari 2025. ANTARA/HO-PT Pertamina Patra Niaga
Riva ditetapkan sebagai tersangka bersama Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional SDS (Sani Dinar Saifuddin), CEO PT Pertamina International Shipping YF (Yoko Firnandi), serta AP (Agus Purwono) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
Tersangka lain adalah MKAR (Muhammad Kerry Andrianto Riza) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Menurut Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, kasus ini terjadi pada 2018–2023, ketika ada ketentuan pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018.
Akan tetapi, ujar Qohar, tersangka RS, SDS dan AP melakukan pengkondisian dalam rapat optimalisasi hilir yang dijadikan dasar untuk menurunkan produksi kilang sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya.
Pengkondisian tersebut membuat pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor.
Pada saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) juga sengaja ditolak dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dan tidak memenuhi nilai ekonomis. Maka, secara otomatis bagian KKKS untuk dalam negeri harus diekspor ke luar negeri.
Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional mengimpor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor produk kilang.
“Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan,” katanya.
Ia mengatakan, dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, diperoleh fakta adanya perbuatan jahat antara penyelenggara negara, yakni subholding Pertamina, dengan broker.
“Tersangka RS, SDS dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum,” ucapnya.
Selain itu, tersangka DW dan tersangka GRJ berkomunikasi dengan tersangka AP agar bisa memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah serta dari tersangka RS untuk produk kilang.
Akibat kecurangan tersebut, komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi lebih tinggi. HIP tersebut dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun melalui APBN.
Dalam pengadaan impor tersebut, menurut Qohar, Riva melakukan pengadaan produk kilang dengan mendatangkan BBM jenis RON 90 (Pertalite), kemudian dilakukan blending di depo untuk menjadi RON 92 (Pertamax). Qohar menegaskan, hal itu jelas tidak diperbolehkan.
Jihan Ristiyanti berkontribusi dalam penulisan artikel ini