Hal yang Terungkap di Sidang Perdana Kasus Pemerasan PPDS Undip

3 months ago 92

TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Negeri Semarang menggelar sidang perdana kasus pemerasan terhadap dokter junior Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang pada Senin, 26 Mei 2025. Dalam persidangan tersebut, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Kota Semarang Shandy Handika membacakan surat dakwaan terhadap dua terdakwa, yakni Zara Yupita Azra dan Taufik Eko Nugroho.

Zara adalah dokter PPDS Undip Semarang, sementara Taufik merupakan Ketua Program Studi (Kaprodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran Undip. Berikut rangkuman informasi mengenai hal-hal yang terungkap di sidang perkara pemerasan PPDS Undip Semarang.

Biaya Tugas Dokter Senior Sebesar Rp 88 Juta

Menurut laporan Antara, dalam sidang perkara tersebut jaksa mengungkap adanya praktik penggunaan joki untuk menyelesaikan tugas milik dokter senior di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro. Total dana yang dikeluarkan untuk hal tersebut mencapai Rp 88 juta, yang seluruhnya berasal dari dokter junior. Jaksa memaparkan bahwa dua jenis tugas yang dikerjakan oleh joki itu, masing-masing dibayar sebesar Rp 11 juta dan Rp 77 juta.

Dokter Senior Doktrin Junior

Terdakwa dalam kasus ini, Zara Yupita, merupakan mahasiswa PPDS angkatan 76. Dia disebut memberikan instruksi dan arahan kepada juniornya dari angkatan 77, salah satunya Aulia Risma Lestari, residen yang diduga meninggal karena bunuh diri pada Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Terdakwa pernah menyampaikan doktrin kepada angkatan 77 melalui aplikasi Zoom tentang adanya aturan di internal PPDS Undip," ujar Jaksa dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Muhammad Djohan Arifin tersebut.

Dalam sidang juga terungkap bahwa Zara menyampaikan pasal-pasal mengenai tata krama di internal anestesi PPDS Undip kepada angkatan di bawahnya. Di antaranya berbunyi "pasal 1 senior tidak pernah salah". Selain itu, ujar Shandy, dokter junior juga dilarang untuk mengeluh. "Jika masih mengeluh, siapa suruh masuk anestesi. Dokter junior hanya bisa menjawab ya dan siap. Selain itu, hal-hal yang enak hanya untuk senior," ujarnya.

Junior Kumpulkan Uang untuk Makan Senior

Jaksa menyebut budaya senioritas dan doktrinasi di PPDS Undip tersebut merupakan bentuk intimidasi terselubung. "Penolakan terhadap aturan tersebut akan berdampak terhadap akademik para dokter junior," kata dia. 

Diketahui bahwa Aulia Risma, yang menjabat sebagai bendahara angkatan 77, mengumpulkan dana iuran dari sesama peserta PPDS pada tahun 2022, dengan jumlah total mencapai Rp 864 juta. Dana tersebut tidak hanya digunakan untuk membayar joki, tetapi juga untuk membelikan makanan bagi para dokter senior yang sedang bertugas, serta memenuhi kebutuhan lainnya yang tidak tercantum dalam regulasi resmi.

Kaprodi Anestesiologi Lakukan Pungli ke Mahasiswa

Dalam persidangan tersebut, Jaksa turut membeberkan bahwa Ketua Program Studi (Kaprodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran Undip, Taufik Eko Nugroho, diduga terlibat dalam praktik pungutan liar (pungli) terhadap para mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) selama periode 2018 hingga 2023.

Jaksa menyatakan bahwa pungutan ini dikemas dalam bentuk biaya operasional pendidikan dengan nilai total mencapai Rp 2,4 miliar. "Tiap mahasiswa program PPDS diwajibkan membayar Rp 80 juta yang diperuntukkan bagi ujian serta persiapan akademik," ucapnya.

Dugaan pungli ini disebut sudah berlangsung sejak Taufik menjabat sebagai Kaprodi pada 2018. Dana dikumpulkan dari para residen melalui bendahara angkatan, lalu diserahkan ke Sri Maryani, staf administrasi Program Studi Anestesiologi yang kini juga ikut menjadi terdakwa. Seluruh pemasukan dan pengeluaran dari pungutan tersebut dicatat dalam sebuah buku catatan bersampul batik warna kuning milik Sri Maryani.

Dana Digunakan untuk Keperluan Pribadi

Jaksa juga mengungkap bahwa sebagian dana operasional yang dikumpulkan dari mahasiswa tersebut digunakan oleh Taufik untuk kebutuhan pribadinya. Total uang yang dinikmati secara pribadi oleh terdakwa diperkirakan mencapai Rp 177 juta. 

Selain melakukan pemaksaan, jaksa menyebut bahwa mekanisme pengelolaan dana tidak disampaikan secara terbuka. "Para mahasiswa tidak mengetahui peruntukan alokasi dana tang diserahkan. Mahasiswa tidak berani bertanya ataupun menolak," katanya.

Dakwaan Terdakwa

Atas perbuatannya, Zara Yupita dijerat dengan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan atau Pasal 335 KUHP tentang pemaksaan. Sementara itu, Taufik Eko disangkakan melanggar Pasal 368 KUHP tentang pemerasan atau Pasal 378 KUHP tentang penipuan atau Pasal 335 KUHP tentang pemaksaan. Terhadap dakwaan tersebut, para terdakwa tidak mengajukan keberatan atau eksepsi dan meminta persidangan dilanjutkan dengan pemeriksaan perkara.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |