INFO NASIONAL – Jakarta, kota global yang menjadi pusat sejarah, ekonomi, dan budaya Indonesia, akan genap berusia 500 tahun pada 2027. Di tengah modernisasi, salah satu tempat yang tetap mempertahankan akar budaya adalah Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Lokasi ini kerap dimanfaatkan untuk menggali sejarah dan budaya lokal.
Beauty Aurelia Febiola, mahasiswi Desain Komunikasi Visual, berkunjung untuk riset batik Betawi pada Selasa, 24 Desember 2024. Meski museum di kawasan itu sudah tutup saat ia tiba, ia tetap melanjutkan tugasnya dengan memotret motif-motif arsitektur khas rumah Betawi. “Iya, telat nih, ternyata museum tutup jam 3 sore. Saya pasti akan kembali lagi untuk eksplorasi lebih dalam,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berkuliah di Universitas Indraprasta, perempuan yang biasa disapa Aurel ini memanfaatkan Commuter Line untuk mencapai kampus. Dari stasiun, dilanjutkan dengan JakLingko. Ia sangat bersyukur dengan kemudahan ini. “Transportasi publik kini lebih banyak dan mudah diakses. Saya bisa kuliah dengan kombinasi KRL dan JakLingko, dan JakLingko yang gratis sangat membantu menghemat biaya,” tutur Aurel.
Kendati begitu, ia menyoroti tantangan pembangunan yang belum merata, padahal Jakarta akan berusia 500 tahun. “Wilayah pusat kota bagus, tapi daerah pinggiran belum. Masih ada daerah kumuh, sampah di mana-mana,” kata dia.
Pendapat serupa diungkapkan Widya Prasetya, seorang karyawan swasta yang bekerja di Jakarta Selatan. Ia mengapresiasi modernisasi kota, terutama dengan kehadiran MRT dan LRT. Namun, Widya menyoroti masalah kemacetan. “Jakarta harus berupaya terus mengatasi kemacetan,” kata Widya. “Mungkin kawasan ganjil-genap harus diperluas areanya, ya.”
Ia juga mengusulkan pengaturan ulang jam masuk dan pulang sekolah. “Kalau anak sekolah libur, jalanan lebih lancar. Jadi mungkin jadwalnya perlu diatur ulang agar tidak menumpuk dengan jam kerja,” ujar pria asal Surabaya ini.
Adapun Budi Febroni, pekerja di industri pertambangan, menggarisbawahi pentingnya penataan kota yang lebih terintegrasi. “Pembangunan di Jakarta sering tumpang tindih, sehingga masalah kemacetan sulit diatasi,” katanya.
Ia juga mengkritik diskriminasi almamater dalam perekrutan tenaga kerja. “Arus urbanisasi terus meningkat karena banyak perusahaan lebih memilih lulusan dari luar Jakarta. Padahal, anak muda asli Jakarta yang punya kapasitas sering terabaikan,” ujarnya.
Kondisi ini mengakibatkan dua hal. Pertama, arus urbanisasi ke Jakarta terus meningkat. Kedua, anak muda yang asli warga lokal Jakarta susah mendapat pekerjaan, dan meningkatkan angka pengangguran. “Kenapa harus dari luar sih, kenapa tidak dimanfaatkan yang di dalam Jakarta sendiri? Padahal bisa meningkatkan income untuk Jakarta,” ujarnya.
Selain pengunjung Setu Babakan, dua pekerja di kawasan Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi (UPK PBB) Setu Babakan ikut menyampaikan pendapatnya tentang Jakarta. Adi, pegawai berstatus Pekerja Jasa Lepas Panjang (PJLP) merupakan warga yang tinggal di dekat bantaran situ. Selama bertumbuh besar, ia tetap melihat berita yang sama: kemacetan dan banjir. “Jadi, kalau menurut saya Jakarta ada perubahan tapi sedikit,” ujarnya.
Bila Adi hanya melihat berita banjir, lain halnya dengan Dedy Hermawan, petugas keamanan di UPK PBB Setu Babakan. Dedy yang tinggal di Jagakarsa, Jakarta Selatan, mengeluhkan maraknya pembangunan rumah oleh pengembang (developer) swasta.
Permasalahannya, menurut pria yang punya panggilan Black Laden ini, para pengembang tidak memperhatikan lingkungan sekitar. Dampaknya, saluran dan daerah resapan air hilang, mengakibatkan banjir merendam perkampungannya. “Tempat main saya habis karena dibangun kompleks (perumahan). Akhirnya, saya yang kebanjiran, penghuni kompleksnya sih tidak. Itulah Jakarta yang sekarang,” kata dia. (*)