TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto sebagai tersangka kasus dugaan penyuapan. Pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Vishnu Juwono menilai penetapan Hasto sebagai tersangka itu menjadi momentum penting untuk memperbaiki tata kelola pemilu di Indonesia, yang selama ini masih rentan terhadap politik uang.
“Kasus ini mengungkapkan masalah mendasar dalam sistem pemilu kita. Politik uang masih merusak integritas proses demokrasi,” ujar Vishnu di Kota Depok, Jawa Barat, Kamis, 26 Desember 2024, seperti dikutip dari Antara.
Dia mengatakan, kasus yang diduga melibatkan Hasto sebagai aktor kunci, menunjukkan bagaimana partai politik melalui otoritas sekretaris jenderal dapat menyalahgunakan kekuasaan untuk memaksakan kehendak politiknya.
Sebelumnya, Ketua KPK Setyo Budiyanto menyampaikan penetapan tersangka Hasto dan orang dekatnya, Donny Tri Istiqomah, dalam konferensi pers pada Selasa sore, 24 Desember 2024. Setyo mengatakan Hasto dan Donny terlibat dalam pemberian suap kepada Komisioner Komisi Pemilihan Umum RI periode 2017-2022 Wahyu Setiawan agar KPU mengesahkan Harun Masiku sebagai anggota DPR menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal.
“HK mengatur dan mengendalikan DTI untuk aktif mengambil dan mengantarkan uang suap untuk diserahkan kepada Komisioner KPU Wahyu Setiawan melalui Tio (Agustina Tio Fridelina),” kata Setyo di Gedung Merah Putih KPK, Selasa, 24 Desember 2024.
Selain menyerahkan uang suap, Hasto bekerja sama dengan Donny untuk menyusun kajian hukum pelaksanaan Putusan MA No.57P/HUM/2019 tanggal 5 Agustus 2019 dan surat permohonan pelaksanaan permohonan fatwa MA ke KPU soal penetapan Harun Masiku sebagai anggota DPR periode 2019-2024.
"HK mengatur dan mengendalikan DTI untuk meloby anggota KPU Wahyu Setiawan agar dapat menetapkan Harun Masiku sebagai anggota DPR terpilih dari Dapil I Sumsel," kata Setyo.
Wahyu Setiawan telah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung pada 2021 dengan hukuman 7 tahun penjara. Namun dia hanya menjalani hukuman 3 tahun 9 bulan setelah memperoleh pembebasan bersyarat pada Oktober 2023.
“Pemangkasan hukuman ini menunjukkan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih lemah dan belum memberikan efek jera yang maksimal bagi pelaku korupsi,” ujar Vishnu.
Menurut dia, kasus ini juga mengungkapkan adanya masalah struktural di tubuh KPU dan Bawaslu. Kedua lembaga yang seharusnya bersikap netral dan menjaga integritas pemilu justru terlibat dalam praktik kecurangan.
Vishnu memandang perlu rekrutmen pimpinan KPU dan Bawaslu secara menyeluruh. Figur-figur yang dipilih harus independen, memiliki integritas tinggi, dan bebas dari rekam jejak korupsi. Tidak boleh ada ruang bagi kader partai politik bermasalah mengisi posisi strategis di lembaga penyelenggara pemilu ini.
Dosen di Fakultas Ilmu Administrasi UI itu juga menyoroti kelemahan dalam tata kelola internal partai politik. Menurut dia, figur-figur bermasalah sering kali menduduki posisi strategis karena loyalitas politik, bukan karena kompetensi atau rekam jejak yang baik.
“Partai politik harus meningkatkan pengawasan internal dan memastikan bahwa tata kelola yang baik diterapkan secara konsisten. Kasus ini menunjukkan bahwa figur sentral seperti Hasto dapat dengan leluasa melakukan dugaan praktik korupsi tanpa pengawasan yang memadai,” ujarnya.
Vishnu juga menggarisbawahi perlunya reformasi dalam proses rekrutmen calon anggota legislatif di partai politik. Calon anggota DPR, kata dia, harus dipilih berdasarkan kompetensi, rekam jejak yang bersih, dan dukungan konstituen yang kuat.
“Jangan sampai figur-figur bermasalah seperti Harun Masiku, yang telah buron selama empat tahun, diberikan kesempatan untuk menjadi caleg unggulan partai politik,” kata dia menegaskan.
Dia berharap kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga untuk memperbaiki tata kelola pemilu dan partai politik di Indonesia. “Kita harus bergerak menuju sistem demokrasi yang bersih, transparan, dan akuntabel. Hanya dengan cara ini kita dapat mewujudkan kepercayaan publik terhadap proses pemilu, partai politik, dan institusi negara,” tuturnya.
Ade Ridwan Yandwiputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Mereka Bilang Tidak Ada Politisasi dalam Penetapan Hasto sebagai Tersangka