TEMPO.CO, Jakarta -Pemerintah Inggris dan Centre for Strategy and Evaluation Services (CSES) meluncurkan studi penelitian yang berhubungan dengan pemberdayaan perempuan. Penelitian itu dirilis dengan judul “Reformasi Regulasi untuk Bisnis dan Konsumen di Negara-negara ASEAN Memahami Dampak Potensial terhadap Kesetaraan Gender dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah”.
Duta Besar Inggris untuk ASEAN Sarah Tiffin mengatakan pemberdayaan perempuan sangat penting bagi masyarakat. Menurut dia, kesempatan inklusif untuk perempuan dapat mendorong bisnis, inovasi, dan ketahanan ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami menempatkan perempuan di jantung pekerjaan kami dengan ASEAN. Dan, kami berkomitmen untuk mendukung ASEAN dalam mempercepat inklusivitas dalam bisnis, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Tiffin di Fairmont Hotel Jakarta pada Kamis, 6 Maret 2025.
Tiffin menuturkan bahwa penelitian ini memberikan wawasan penting tentang tantangan struktural yang dihadapi UMKM dan pengusaha perempuan dan menetapkan rekomendasi tentang cara mengatasinya.
Melalui cara itu, Tiffin menyampaikan, negara-negara terkait dapat menciptakan lingkungan regulasi yang mendorong inovasi dan ketahanan ekonomi.
Menurut dia, selama ini perempuan secara tidak proporsional menjalankan UMKN di seluruh ASEAN. Padahal keberhasilan mereka sangat penting bagi masa depan ekonomi kawasan itu.
Manajer Komisi GIZ ASEAN SME II, Sita Zimpel, menjelaskan bahwa sebagai pendorong utama bagi ekonomi ASEAN, UMKM perlu memahami persyaratan peraturan, seperti keamanan produk, untuk berdagang di dalam negeri dan lintas batas dengan sukses.
Zimpel menegaskan bahwa GIZ berkomitmen untuk memperkuat UMKM dan pengusaha perempuan di kawasan tersebut. Dengan pendanaan dari Pemerintah Jerman, kata dia, GIZ juga mendukung platform ASEAN Access yang menghubungkan bisnis dengan jaringan dan peluang baru di pasar ASEAN dan luar negeri.
Penelitian yang diluncurkan Reformasi Regulasi Program Integrasi Ekonomi ASEAN-Inggris itu menyelidiki tantangan yang dihadapi oleh bisnis dan mengidentifikasi peluang untuk pembuatan kebijakan yang lebih inklusif. Selain itu, penelitian itu mengungkap bagaimana reformasi regulasi dapat lebih mendukung wirausahawan perempuan UMKM di seluruh kawasan ASEAN.
Setidaknya ada lebih dari 70 juta UMKM di ASEAN. Temuan penelitian, yang dipresentasikan pada dialog multi-pemangku kepentingan, menyoroti kompleksitas dan biaya kepatuhan regulasi—seperti perizinan, keamanan produk konsumen, kekayaan intelektual, dan standar industri— yang dapat menghambat perusahaan yang lebih kecil.
Di seluruh kawasan, UMKM mencakup 99 persen dari semua bisnis dan 85 persen lapangan kerja, tetapi hanya 18 persen dari ekspor. Perempuan memimpin sebagian besar usaha mikro, banyak di antaranya masih berada di sektor informal, dan mereka menghadapi hambatan tambahan, termasuk akses terbatas ke keuangan, perangkat digital, dan informasi regulasi.
Perwakilan Inggris, pembuat kebijakan ASEAN, organisasi pendukung UMKM, dan pemimpin bisnis membahas solusi praktis untuk memastikan bahwa reformasi regulasi mendorong pertumbuhan sekaligus melindungi kepentingan bisnis.
Lebih lanjut, studi ini turut menekankan urgensi kebijakan yang mempertimbangkan realitas perusahaan yang lebih kecil dan memastikan mereka tidak tertinggal dalam reformasi ekonomi.
Pemerintah Inggris berkomitmen untuk mendukung upaya ASEAN dalam reformasi peraturan, memastikan bisnis dari semua ukuran—terutama yang dipimpin oleh perempuan—dapat berkembang dalam ekonomi digital yang semakin kompetitif.
Adapun rekomendasi studi tersebut ditargetkan untuk membantu membentuk diskusi kebijakan di masa mendatang sehingga membuka jalan bagi kerangka kerja peraturan yang lebih inklusif dan efektif.