Investasi Apple di Indonesia: Kena Dampak Tarif Trump?

4 hours ago 6

TEMPO.CO, Jakarta - Farah Fausa Winarsih, Head of Marketing for Apple Product di PT MAP Zona Adiperkasa (Digimap), menyatakan bahwa pihaknya selaku mitra Apple belum melakukan perhitungan terhadap potensi dampak dari kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap harga iPhone di Indonesia, mengingat kebijakan tersebut masih belum diterapkan.

“Hingga saat ini, harga iPhone 16 masih sama seperti saat pre-order, belum ada perubahan. Jadi, semoga ke depannya tidak ada dampak yang berarti. Aku belum bisa memastikan apakah akan berpengaruh atau tidak, tapi mudah-mudahan tetap stabil dalam beberapa bulan ke depan,” ujar Farah di Jakarta pada Jumat, 11 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski begitu, Farah menyoroti adanya wacana pemerintah mengenai pelonggaran aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang diperkirakan akan diberlakukan pada produk-produk generasi berikutnya, seperti seri iPhone 17. Ia menyambut positif wacana tersebut dan berharap kebijakan ini membawa dampak yang baik bagi perkembangan industri teknologi di Tanah Air.

“Bisa jadi ini memberi angin segar. Waktu dengar kabarnya, aku langsung senyum lebar, langsung sujud syukur, Alhamdulillah,” ujarnya. “Semoga dengan ada kebijakan baru, jadi membuat penjualan atau industri teknologi di Indonesia bisa lebih cepat berkembangnya.”

Menteri Perindustrian atau Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan telah menandatangi nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) dengan Apple dan menyepakati investasi sebesar US$ 160 juta. Proses negosiasi selama 5 bulan ke belakang menurutnya berjalan alot. Namun, Agus bersyukur kesepakatan yang diambil bisa menambah nilai ekonomi bagi Indonesia. "Alhamdulilah hari ini kami menandatangi MoU antara Kemenperin dan Apple," ujar Agus dalam konferensi pers di kantor Kemenperin pada Rabu, 26 Februari 2025.

Sebelumnya, dilansir dari Antara, Pemerintah Indonesia telah menyiapkan sejumlah paket negosiasi yang akan dibawa ke perundingan di Washington DC guna merespons kebijakan tarif timbal balik (resiprokal) dari Amerika Serikat.

Beberapa langkah yang disiapkan pemerintah antara lain mencakup deregulasi non-tariff measures (NTMs), seperti relaksasi aturan TKDN untuk sektor informasi dan komunikasi yang berasal dari Amerika Serikat meliputi perusahaan seperti GE, Apple, Oracle, dan Microsoft. Selain itu, pemerintah juga mengevaluasi kebijakan larangan dan pembatasan serta mempercepat proses sertifikasi halal.

Pada Rabu, 9 April 2025 waktu Amerika Serikat, Donald Trump mengumumkan penundaan selama 90 hari terhadap penerapan tarif resiprokal bagi sejumlah negara mitra dagang. Namun, ia tetap memberlakukan kenaikan bea masuk terhadap produk asal Cina sebesar 125 persen. Negara-negara yang awalnya direncanakan akan menerima tarif resiprokal yang lebih tinggi, untuk sementara hanya dikenai tarif dasar sebesar 10 persen, termasuk untuk komoditas seperti baja, aluminium, dan mobil.

Dalam pernyataan yang ia sebut sebagai “Hari Pembebasan”, Trump menetapkan tarif dagang terhadap 60 negara, kebijakan yang banyak pihak anggap sebagai bentuk hambatan perdagangan paling berat yang pernah diberlakukan Amerika Serikat dalam seabad terakhir. 

Trump meyakini bahwa Amerika Serikat telah menjadi korban dari perjanjian dagang yang merugikan. Menurutnya, berbagai negara membanjiri pasar AS dengan produk berharga murah, yang pada akhirnya melemahkan daya saing perusahaan lokal dan mengakibatkan hilangnya lapangan pekerjaan di dalam negeri.

Ia juga menilai bahwa banyak negara menerapkan berbagai hambatan seperti tarif dan pajak impor yang tinggi terhadap produk-produk asal AS, membuat barang buatan Amerika menjadi kurang kompetitif di pasar internasional.

Meski demikian, niat Trump sebenarnya dianggap cukup positif. Ia berupaya menghidupkan kembali industri dalam negeri sekaligus melindungi pekerjaan warga Amerika.

Trump menyebut kebijakan tarifnya sebagai bentuk resiprokal—yakni tanggapan atas kebijakan dagang dari negara-negara mitra. Namun, klaim ini menuai perdebatan. Banyak negara merasa kebijakan mereka tidak sampai menimbulkan tarif setinggi yang kini diberlakukan oleh AS.

Media seperti BBC, New York Times, dan Euronews mengungkap bahwa tarif Trump digunakan sebagai cara mengurangi defisit perdagangan AS.

Gedung Putih menyebutnya rumus kompleks, namun nyatanya hanya formula sederhana: defisit perdagangan AS dengan suatu negara dibagi total impornya dari negara tersebut, lalu hasilnya dibagi dua.

Beberapa ekonom bahkan menyebut rumus ini aneh dan hanya masuk akal menurut logika Trump sendiri.

Defara Dhanya berkontribusi dalam tulisan ini.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |