INFO NASIONAL - Tak ada istilah dalam Islam yang mengalami distorsi makna sedalam jihad. Kata ini kerap disempitkan menjadi sekadar peperangan, bahkan dianggap “penumpahan darah atas nama agama”. Padahal, jihad memiliki cakupan yang lebih luas.
Mirza Tahir Ahmad, Khalifah ke-4 Jemaat Muslim Ahmadiyah, menyoroti kesalahpahaman ini sebagai bentuk penyimpangan dari ajaran Islam yang sejatinya penuh kasih. Bagaimana mungkin agama yang menebarkan kedamaian justru diasosiasikan dengan kekejaman? Kontradiksi ini juga pernah diulas oleh Stephen Sulaiman Schwartz dalam bukunya, Dua Wajah Islam (2002).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam bahasa Arab, “jihad” berasal dari akar kata yang berarti “usaha,” “perjuangan,” atau “mengerahkan tenaga.” Dalam Al-Qur’an, kata ini dan derivasinya muncul sekitar 41 kali, dengan kemunculan terbanyak dalam Surah At-Taubah.
Menurut Ali Mostafa dalam Violence and Jihad in Islam: From the War of Words to the Clashes of Definitions (2021), mayoritas ayat yang menyebut jihad tidak secara eksplisit merujuk pada perang atau kekerasan. Islam memiliki istilah khusus untuk peperangan, yaitu “qitl”.
Nabi Muhammad SAW juga menegaskan bahwa jihad tidak selalu berkaitan dengan pertempuran fisik. Dalam sebuah riwayat dari Abu Dzarr, disebutkan bahwa jihad yang paling utama adalah perjuangan melawan diri sendiri dan hawa nafsu (Shahh Al-Jam’ush-Shaghr, no. 1099). Pada kesempatan lain, Rasulullah menyebut jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada seorang penguasa yang zalim (Sunan Abu Daud, no. 4344).
Seturut dengan, itu Pendiri Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad a.s. dalam British Government and Jihad (1900) menasehati para pengikutnya:
“Saya telah datang kepada kalian dengan sebuah perintah, bahwa jihad dengan pedang telah berakhir sejak saat ini, tetapi jihad untuk memurnikan jiwa kalian harus dilanjutkan. Saya tidak mengatakan hal ini atas kehendak saya sendiri. Ini memang kehendak Allah. Menurut Nabi Suci (Muhammad SAW), ketika Al-Masih datang, ia akan mengakhiri perang agama. Oleh karena itu, saya memerintahkan mereka yang telah bergabung dengan barisan saya untuk menahan diri dari pemikiran-pemikiran seperti itu, untuk menyucikan hati mereka, untuk menumbuhkan rasa simpati dan berbelas kasih kepada mereka yang menderita. Mereka harus menyebarkan kedamaian di muka bumi karena hal itu akan menyebabkan iman mereka menyebar sebagai balasannya.” (Ahmad, 1900: 17)
Delapan tahun kemudian, dalam Jesus in India (1908), Mirza Ghulam Ahmad menegaskan bahwa Islam tidak mengizinkan penggunaan pedang dalam agama, kecuali dalam tiga kondisi: perang defensif, perang untuk menghukum tiran, dan perang untuk menegakkan kemerdekaan. Menurutnya, perang defensif hanya diperlukan jika agresi musuh mengancam kehidupan seseorang. Di luar tiga kategori ini, tidak ada perang lain yang dibenarkan dalam Islam untuk mendukung agama (Ahmad, 1908: 2-3).
Pandangan ini sering dijadikan dasar tuduhan bahwa Ahmadiyah anti-jihad. Padahal, anggapan tersebut terlalu tergesa-gesa. Sebagai bagian dari komunitas Islam, Ahmadiyah tetap meyakini jihad sebagai bagian dari syariat yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Khalifah ke-5 Ahmadiyah, Mirza Masroor Ahmad, dalam peringatan seabad Khilafah Ahmadiyah, 23 Juni 2008, menyampaikan:
“Jihad yang diyakini oleh Jemaat Muslim Ahmadiyah adalah reformasi diri. Ini bukanlah ide yang baru saja muncul. Hal ini telah disebutkan 1.400 tahun yang lalu oleh Pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW) sekembalinya beliau dari sebuah peperangan, ketika beliau berkata, ‘Kita berpindah dari jihad kecil ke jihad yang lebih besar’, dan jihad yang lebih besar adalah jihad mereformasi diri sendiri, dan ini tidak akan pernah berakhir dan untuk selamanya.”
Dalam kesempatan yang sama, saat berkunjung ke Amerika Serikat—yang sering memandang jihad secara negatif—ia juga menyoroti ketidakadilan negara barat dalam menilai Islam dengan pernyataan berikut:
“Saya ingin mengatakan secara sepintas, bahwa peperangan yang terjadi pada beberapa abad terakhir sebagian besar bersifat politis dan geografis, dan jarang sekali terjadi karena agama. Terlebih lagi, pada abad terakhir, dua perang dunia terjadi di mana umat Islam tidak memainkan peran utama. Semua itu semata-mata karena kepentingan politik. Sebelum menuduh Islam sebagai agama teroris, keadilan mengharuskan mereka yang menuduh untuk mempertimbangkan penyebab peperangan yang terjadi (selama ini).”
Al-Qur’an, Surah Al-Furqan ayat 53—basmalah dihitung sebagai ayat pertama—sebagai sumber utama ajaran Islam menyatakan bahwa jihad terbesar adalah berjuang melawan para pengingkar dengan Al-Qur’an. Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad dalam Tafsr Kabr-nya pada ayat tersebut mengomentari bahwa jihad yang agung dan sejati adalah menyampaikan risalah Al-Qur'an. Jadi, berjuang untuk menyebarluaskan ajaran Islam adalah jihad yang diperintahkan kepada kaum Muslimin dengan semangat yang tak pernah surut (Tafsr Kabr, 1947, Vol. 4, hal. 2324).
Inilah jihad yang dimaksud Mirza Masroor Ahmad dengan mereformasi diri yang tidak akan pernah berakhir. Dengan kata lain, menghidupkan Al-Qur’an dalam komunitas dunia Islam yang tengah redup akibat ulah penganutnya sendiri.
Al-Islmu mahjbun bil-muslimn. Kejuwitaan Islam tertutupi perilaku umatnya sendiri, ungkap seorang penggagas gerakan modernisme Islam asal Mesir, Muhammad Abduh.
Meski terdengar klise, dengan kesadaran epistemis yang kuat, kita harus kembali kepada Al-Qur’an. Back to basic—kembali ke energi besar yang pernah melontarkan peradaban Islam ke puncaknya pada abad pertengahan. Semangat jihad umat ini harus membangkitkan kembali Baytul Hikmah, pusat riset dunia pada abad VIII dan IX.
Muhammad Abdus Salam. Dok. Istimewa
Pelita itu sebenarnya sudah dinyalakan. Abdus Salam, peraih Nobel Fisika 1979 dan seorang Ahmadi asal Pakistan, mendirikan The World Academy of Sciences (TWAS) pada 1983. Bersama koleganya, ia membentuk akademi ini untuk membuka kesempatan bagi para periset dari dunia ketiga agar berkontribusi dalam perkembangan sains global.
Abdus Salam meyakini bahwa sains adalah warisan umat manusia. Semangat yang sama pernah dimiliki para ilmuwan Muslim seperti Al-Biruni dan Al-Khawarizmi. Setelah memecah kebekuan panjang dalam daftar peraih Nobel—di mana sebelumnya tak ada satu pun ilmuwan Muslim—ia berkeliling ke berbagai negara berkembang untuk menyalakan kembali api sains dan riset. Kuwait dan Cina termasuk di antara tujuannya.
Kecintaannya terhadap sains bagi dunia ketiga melahirkan plesetan TWAS sebagai “The World of Abdus Salam”—Dunia Abdus Salam. Sebuah permainan kata yang mencerminkan dedikasinya.
Namun, di tengah pencapaian individu seperti itu, dunia Islam justru kehilangan narasi besar. Identitas kolektif Islam sebagai khayru ummah tak bisa berdiri tanpa mengakui keberagaman unsur-unsurnya. Identitas rasial, epistemologi dalam fikih dan tafsir, serta identitas budaya adalah bagian tak terpisahkan dari peradaban Islam. Sayangnya, hingga kini, umat Islam belum mampu memandangnya secara utuh.
Suka atau tidak, dunia Islam masih terjajah—bukan hanya dalam politik, tetapi juga dalam pengetahuan. Kembali pada gagasan reformasi diri yang disampaikan Mirza Masroor Ahmad, atau memurnikan jiwa dalam istilah Mirza Ghulam Ahmad a.s., perubahan yang dilakukan secara kolektif akan menghidupkan kembali semangat khayru ummah. Inilah jalan menuju pembebasan dari kolonialisme pengetahuan yang selama berabad-abad mengekang.
Fajar kejayaan Islam kedua pun kian mendekat. Inilah jihad di era modern—bahkan di era setelahnya, sebagaimana diproyeksikan para pemikir pascamodern. Sebuah jihad yang menuntut umat Islam mengerahkan seluruh daya dan upaya. Jadi, bila persepektif jihad ini secara mainstream dicap anti jihad, maka memilih jalur ‘indie’ dalam berjihad layak untuk ditempuh. (*)
Dodi Kurniawan | Pengurus Ahmadiyah di Kampung Wanasigra, Salawu, Tasikmalaya.