SOLO, JOGLOSEMARNEWS.COM – Kali Pepe yang membentang dan membelah Kota Solo memiliki akar sejarah yang cukup panjang di Kota Solo. Sekilas melihat salah satu ruasnya, orang tentu akan berpikir, mengapa kali atau sungai yang hanya selebar 5 sampai 10 meter itu memiliki akar sejarah yang panjang?
Namun, di balik alirannya yang tampak sederhana, sebenarnya Kali Pepe menyimpan kisah penting tentang perjalanan Kota Solo. Sepanjang sekitar 41 kilometer, sungai ini mengalir dari wilayah Boyolali, melewati kawasan inti Surakarta, hingga bermuara ke Sungai Bengawan Solo di sisi timur.
Mungkin sulit dipercaya, namun berbagai sumber menyebut, sejak ratusan tahun lalu, Kali Pepe menjadi urat nadi vital dalam hal transportasi, perdagangan, pertahanan, hingga budaya masyarakat.
Kehadiran Kali Pepe sangat erat kaitannya dengan kelahiran Kota Surakarta Hadiningrat. Pada tahun 1745, saat Pakubuwono II memindahkan pusat kerajaan dari Kartasura ke Desa Sala, keberadaan sungai atau Kali Pepe menjadi salah satu pertimbangan utama. Kali Pepe dimanfaatkan sebagai jalur transportasi untuk mengangkut material bangunan dari berbagai daerah guna membangun Keraton Kasunanan Surakarta. Konon, di sepanjang alirannya pernah berdiri dermaga-dermaga kecil dan pelabuhan rakyat yang kini telah hilang tertelan zaman.
Fungsi Kali Pepe tak berhenti pada logistik pembangunan keraton. Sungai itu juga memegang peranan penting dalam strategi pertahanan. Di era kolonial Belanda, Kali Pepe menjadi batas alami yang melindungi kawasan inti kota dari serangan luar. Sejumlah jembatan yang dibangun Belanda masih berdiri hingga kini sebagai saksi bisu pergerakan zaman di sekitar aliran sungai.
Kali Pepe juga menyatu dengan kehidupan spiritual dan budaya masyarakat. Tradisi seperti larung sesaji dan bersih kali menjadi bentuk penghormatan terhadap alam serta leluhur. Dalam beberapa tahun terakhir, kegiatan budaya seperti “Pepe Land Festival” digelar untuk merayakan hubungan antara masyarakat dan sungai, sekaligus mendorong pelestarian lingkungan.
Proses alam selama ratusan tahun, ternyata telah mengubah Kali Pepe, dari yang semula lebarnya angara 15-20 juta, menjadi sekitar 5-10 meter saja. Catatan kolonial dan cerita lisan dari masyarakat menyebutkan, di kawasan pusat kota seperti Pasar Gede, Baluwarti, dan Gladag, lebar Kali Pepe bisa mencapai 15 hingga 20 meter.
Sungai ini cukup lebar untuk dilayari perahu-perahu pengangkut barang menuju pusat kota. Namun kini proses alami sedimentasi, ditambah dengan adanya pembangunan liar di bantaran sungai, serta alih fungsi lahan, lebar Kali Pepe menyusut drastis. Di kawasan kota, lebarnya tinggal sekitar 5 hingga 10 meter, bahkan menyempit hingga 3 meter di beberapa titik.
Penyempitan ini menjadi perhatian serius pemerintah kota dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo. Berbagai upaya revitalisasi telah dilakukan, termasuk pembersihan sungai dan pemanfaatan kembali aliran sungai untuk wisata air dan kegiatan seni masyarakat. Perahu hias, panggung apung, dan ruang publik di sepanjang bantaran menjadi simbol harapan baru bagi sungai ini.
Peran penting Kali Pepe juga tak lepas dari lokasinya yang melintasi jantung Kota Solo masa lalu. Kawasan Gladag hingga Pasar Gede merupakan pusat pemerintahan dan ekonomi sejak era Pakubuwono II.
Di situlah Keraton Surakarta Hadiningrat berdiri megah sebagai pusat kekuasaan dan budaya. Tak jauh dari sana, Alun-Alun Utara dan Selatan menjadi tempat upacara dan kegiatan rakyat. Gladag sendiri menjadi gerbang utama menuju kompleks keraton, sementara Pasar Gede menjadi pusat niaga tertua di kota. Benteng Vastenburg yang dibangun Belanda pun tak jauh dari sungai, memperlihatkan betapa strategisnya kawasan tersebut.
Letak Kali Pepe yang melintasi pusat kota menjadikannya jalur penting bagi lalu lintas orang dan barang pada masa lalu. Kini, meskipun ukurannya jauh menyusut, namun jejak sejarahnya tetap mengalir dan menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut nadi dan identitas Kota Solo. Suhamdani | Berbagai sumber