Oleh: Prof Muhammad Syakir, Ketua Harian DPP HKTI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan luar negeri sering kali diukur dari simbol. Siapa yang diutus, di mana pertemuan dilakukan, dan kapan momentum itu terjadi. semuanya berbicara lebih banyak daripada seribu kata sambutan.
Langkah Presiden Prabowo Subianto menugaskan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyambut Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, termasuk salah satu simbol yang sarat pesan.
Di permukaan, peristiwa itu tampak sebagai seremoni diplomatik biasa. Namun di baliknya, tersimpan kecerdasan geopolitik yang jarang dibaca secara terbuka: Jakarta sedang mengirimkan pesan kepada dunia bahwa Indonesia ingin bicara lewat kekuatan pangan.
Brasil bukan sekadar mitra dagang, melainkan raksasa pertanian global — negara yang menguasai pasar kedelai, daging, dan bioenergi dunia.
Ketika kepala negaranya tiba di Jakarta dan disambut langsung Menteri Pertanian, bukan Menteri Luar Negeri atau Menteri Ekonomi, pesan yang tersirat sangat jelas, Indonesia ingin membangun diplomasi dari tanah, bukan dari meja.
Indonesia ingin menunjukkan, pertanian adalah bahasa baru hubungan antarbangsa. Dan pilihan Prabowo terhadap Amran bukanlah kebetulan.
Andi Amran Sulaiman dikenal bukan sebagai birokrat protokoler, tetapi pekerja lapangan yang membangun sistem pertanian dari bawah.
Selama kepemimpinannya, ia berani melakukan reformasi di tengah sistem yang kompleks: menertibkan distribusi pupuk, menguatkan produksi pangan, dan menekan ketergantungan impor.
Yang menarik, penyambutan Presiden Brasil itu berlangsung di hari yang sama ketika pemerintah mengumumkan penurunan harga pupuk bersubsidi sebesar 20 persen — kebijakan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah republik.
Bagi banyak pihak, momentum itu menjadi bukti pertanian kini bukan hanya urusan ekonomi rakyat, tetapi panggung politik negara. Presiden Prabowo tampak memahami, politik pangan adalah politik masa depan.
Dalam tatanan global yang dilanda krisis energi dan perubahan iklim, pangan menjadi instrumen baru kekuasaan — sama pentingnya dengan militer, minyak, atau teknologi. Menempatkan Menteri Pertanian di garda depan diplomasi, bentuk soft power yang cerdas.
Di balik jabat tangan Amran dan Lula da Silva, dunia membaca simbol itu: Indonesia tak lagi berbicara sebagai konsumen pangan, tetapi sebagai produsen yang disegani. Itulah politik simbol yang khas Prabowo — tegas, tak banyak kata, tapi maknanya dalam.
Pertemuan Amran dan Lula da Silva di landasan Halim bukan hanya pertemuan dua pejabat. Ia pertemuan dua ideologi pertanian dari belahan selatan dunia: Brasil yang percaya pada kemandirian agraria, dan Indonesia yang kini menegakkan kembali kedaulatan pangan.Keduanya berbagi semangat yang sama: menempatkan petani di pusat pembangunan.
Dan ketika Menteri Pertanian menjadi wajah pertama yang menyambut Presiden Brasil, Jakarta seakan menyampaikan pesan kepada dunia bahwa masa depan diplomasi global akan ditentukan oleh siapa yang menguasai pangan.
Langkah Prabowo menugaskan Amran menegaskan arah baru kebijakan nasional: Indonesia membangun kekuatan dari akar, bukan dari puncak.
Ketahanan pangan kini dipahami bukan hanya sebagai urusan ekonomi domestik, melainkan strategi geopolitik yang menentukan posisi tawar bangsa di dunia internasional. Keputusan ini juga menunjukkan sinkronisasi antara simbol dan substansi.
Di hari yang sama, Indonesia menurunkan harga pupuk untuk petaninya dan menerima kunjungan Presiden salah satu negara agraris terbesar dunia. Keduanya terhubung oleh pesan yang sama: pangan adalah sumber kekuatan bangsa.
Prabowo tampaknya sedang menggeser paradigma lama diplomasi Indonesia — dari diplomasi politik menjadi diplomasi pangan. Dan Amran, dengan rekam jejak, disiplin, dan reputasi kerja kerasnya, adalah figur yang paling pantas membawa pesan itu.
Kecerdasan Presiden Prabowo bukan hanya pada kebijakan luar negeri yang terukur, juga kemampuannya membaca simbol dan momentum.
Menugaskan Amran menyambut Presiden Brasil adalah langkah sederhana tapi penuh makna: sebuah pernyataan halus Indonesia sedang berdiri tegak di atas tanahnya sendiri dan siap berbicara kepada dunia dengan bahasa yang paling universal — pangan.