Kita Butuh Media yang Jujur, Bukan yang Sekadar Aman

3 hours ago 9

Image Fajar Rahman Hadi

Edukasi | 2025-10-18 16:59:49

Serial Ratu-Ratu Queens membuka mata saya bahwa kenyataan sosial di Indonesia terlalu rumit untuk terus diringkas dalam tayangan yang seragam dan “aman.” Di balik kelucuan dan gaya ceritanya yang ringan, serial ini berani menyentuh persoalan mendasar yang sering dijauhi media kita: kesenjangan sosial, stereotip gender, hingga keberagaman identitas yang sulit didiskusikan di ruang publik.

Saya bertanya-tanya, mengapa karya seperti ini jarang muncul dari dalam negeri? Sebagai penonton, saya sering disuguhi dunia rekaan yang jauh dari realitas. Laki-laki selalu digambarkan gagah dan dominan, perempuan lemah lembut dan pasif, keluarga selaluharmonis, dan masyarakat kelas menengah tampak tanpa cela. Padahal, menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2023, sekitar 40 persen perempuan Indonesia menjadi tulang punggung keluarga. Angka ini menunjukkan bahwa peran perempuan dalam masyarakat jauh lebih kompleks daripada stereotip yang sering ditampilkan media.

Lebih jauh lagi, banyak anak muda kini bergulat dengan identitas diri mereka. Survei Pew Research Center tentang pemahaman gender di Asia Tenggara mengungkapkan bahwa semakin banyak generasi muda yang mulai mempertanyakan dan mendefinisikan ulang konsep gender tradisional. Namun, isu ini masih sering dianggap tabu dan dihindari oleh media mainstream.

Media kita tampaknya lebih tertarik memoles kenyataan daripada menampilkannya apa adanya. Cerita yang menyimpang dari “pakem” sering dianggap mengancam moralitas dan stabilitas sosial. Istilah seperti “gender” atau “identitas nonbiner” pun kerap dicurigai, bukan dipahami. Alih-alih menjadi jembatan dialog, media malah membangun pagar yang membatasi ruang pikir masyarakat.

Lucunya, banyak yang mengaku ingin menjaga nilai dan budaya, tapi lupa bahwa nilai dan budaya itu tumbuh dalam konteks sosial yang dinamis. Budaya bukan sesuatu yang statis; ia berkembang seiring perubahan zaman dan kondisi masyarakat. Ketika keragaman realitas dianggap tabu, yang sebenarnya dilindungi bukan budaya, melainkan ketakutan terhadap perbedaan.

Saya tak membicarakan setuju atau tidak setuju dengan identitas tertentu, melainkan absennya representasi adil di media arus utama. Mengapa karakter queer selalu jadi bahan tertawaan? Mengapa perempuan kuat dianggap “tidak pantas” tampil sebagai tokoh utama? Dan mengapa cerita dari kalangan kelas sosial bawah hanya muncul saat dibungkus kisah sedih atau eksploitasi, tanpa memberi ruang pada kisah kekuatan dan harapan mereka?

Media seharusnya bukan hanya ruang hiburan, tapi juga ruang pengungkapan dan pendidikan. Jika media terus bermain aman—menghindari isu sensitif, menyensor realitas, dan hanya menampilkan versi nyaman kehidupan—kita kehilangan kesempatan berharga untuk tumbuh sebagai masyarakat yang peka, terbuka pada isu sosial, dan kritis. Seharusnya media menjadi tempat di mana masyarakat bisa belajar memahami kompleksitas dan keragaman kehidupan yang sebenarnya.

Serial seperti Ratu-Ratu Queens memang belum sempurna, tapi berani tampil jujur. Ia menunjukkan bahwa cerita bisa menghibur tanpa membohongi kenyataan. Serial ini mengajak kita menertawakan kekacauan sosial sekaligus mengakui luka yang ada, membuka ruang bagi dialog yang selama ini tertutup. Media kreatif dan industri media berita di Indonesia seharusnya bisa lebih terbuka terhadap semua isu yang terjadi—terutama isu kesetaraan gender, identitas sosial, dan kebebasan berekspresi—seperti apa yang diangkat oleh Ratu-Ratu Queens di dalam serialnya.

Sebagai mahasiswa dari rumpun studi sosial humaniora dan lahir sebagai generasi muda, saya melihat ini sebagai pengingat pentingnya keberanian bersuara, meski tekanan sosial dan moral semakin ketat. Kita membutuhkan lebih banyak media yang berani, tidak hanya bermain amandan memenuhi standar lama, tapi benar-benar mencerminkan wajah masyarakat Indonesia yang beragam, penuh warna, dan tidak selalu rapi supaya lebih terdukasi dan terbuka.

Jika kita terus membiarkan media hanya memproduksi kenyataan yang sudah disterilkan, maka kita sedang membangun generasi yang gagap memahami kompleksitas hidupnya sendiri. Dan itu, menurut saya, jauh lebih berbahaya daripada semua isu yang selama ini dianggap kontroversial. Kita harus berani menerima kenyataan bahwa hidup itu rumit, dan hanya dengan jujur menghadapi kompleksitas tersebut kita bisa tumbuh menjadi masyarakat yang lebih inklusif dan manusiawi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |