JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Polemik seputar upaya penghapusan konten sejarah di media sosial kembali memantik perhatian publik. Kali ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) disebut meminta platform X (dulu Twitter) untuk menurunkan unggahan dua akun yang memuat narasi kritis tentang tragedi Mei 1998.
Koalisi Demokratisasi dan Moderasi Ruang Digital Indonesia (Koalisi Damai) menyampaikan kecaman keras terhadap langkah pemerintah yang dinilai membungkam kebebasan berekspresi. Dua akun yang disasar adalah @neohistoria_id dan @perupadata. Keduanya kerap menyajikan konten sejarah secara kritis dan edukatif.
Salah satu unggahan yang dipersoalkan adalah utas sejarah tentang pernyataan Wiranto, mantan Panglima ABRI, yang pernah membantah terjadinya pemerkosaan massal pada kerusuhan 1998. Konten tersebut dilengkapi dengan kutipan pernyataan dan dokumentasi visual. Akun lainnya, @perupadata, menyoroti data korban kekerasan seksual dalam peristiwa yang sama—topik yang kembali relevan usai pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Menurut Koalisi Damai, pada 18 Juni 2025 kedua akun menerima email dari X yang memberitahukan bahwa konten mereka telah dilaporkan Komdigi karena dianggap melanggar hukum di Indonesia. Namun, pemberitahuan tersebut tidak menjelaskan pasal mana yang dilanggar atau bagian mana dari unggahan yang dianggap melanggar.
“Langkah takedown yang dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas dan mekanisme keberatan yang transparan hanya akan menimbulkan penyalahgunaan kewenangan,” ujar Koalisi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (20/6/2025).
Koalisi menilai praktik ini semakin menegaskan pola intervensi negara terhadap ruang digital yang makin mengkhawatirkan. Mereka mencatat, permintaan serupa juga pernah dialami oleh akun-akun yang menyuarakan isu tambang nikel di Raja Ampat hingga kritik kebijakan perdagangan luar negeri.
Laporan SafeNet menyebutkan bahwa pola penghapusan konten yang kritis terhadap negara bukan kali ini saja terjadi. Mulai dari masa Pemilu 2024 hingga isu lingkungan, permintaan takedown terus muncul dan menyasar mereka yang bersuara lantang.
“Jika ruang digital tidak lagi aman untuk menyuarakan pendapat, maka demokrasi kita tengah berada di ujung tanduk,” ujar perwakilan Koalisi.
Koalisi pun menyerukan sejumlah langkah tegas. Pertama, mendesak Menkomdigi Meutya Hafid menghentikan praktik moderasi konten yang serampangan. Mereka meminta pemerintah kembali ke prinsip-prinsip konstitusi, yaitu melindungi kebebasan berekspresi, bukan mengendalikannya.
Kedua, Koalisi mendesak platform media sosial agar tidak begitu saja tunduk pada permintaan pemerintah, terutama bila tidak disertai argumen yang jelas dan proporsional sesuai prinsip hak asasi manusia internasional.
Ketiga, Koalisi menuntut Komisi I DPR RI untuk segera mengevaluasi total kewenangan Komdigi dalam hal kontrol terhadap konten digital. Mereka menilai fungsi pengawasan legislatif sangat diperlukan untuk mencegah praktik sewenang-wenang oleh eksekutif di ruang siber.
Koalisi Damai sendiri terdiri dari 16 lembaga masyarakat sipil dan individu yang fokus pada isu demokrasi digital, hak digital, serta tata kelola platform. Di dalamnya terdapat nama-nama seperti SAFEnet, AJI Indonesia, Perludem, ELSAM, Gusdurian Network, AMSI, dan CSIS Indonesia.
“Pemerintah seharusnya berdiri di pihak warga negara, bukan justru membatasi ruang ekspresi mereka,” pungkas Koalisi. [*]
Berbagai sumber
Anggota Koalisi Damai:
- AJI Indonesia
- AMSI
- CfDS UGM
- CSIS Indonesia
- ECPAT Indonesia
- ELSAM
- ICT Watch
- Jaringan Gusdurian
- LP3ES
- Mafindo
- SAFEnet
- Yayasan Tifa
- Perludem
- PR2Media
- Remotivi
- Wikimedia Indonesia
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.