Komisi III Klaim Pembahasan RUU KUHAP Paling Partisipatif

1 day ago 12

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengklaim Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP sebagai produk perundang-undangan yang paling partisipatif. Ia membantah tudingan bahwa proses penyusunan RUU KUHAP tertutup dan tak transparan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”Justru ini undang-undang yang paling partisipatif dan transparan. Kami lakukan rapat-rapat terbuka, bahkan live streaming,” kata Habiburokhman melalui keterangan tertulisnya dikutip pada Jumat, 18 April 2025.

Menurut dia, Komisi III telah menggelar sejumlah kegiatan sosialisasi dan diskusi publik soal RUU KUHAP, seperti seminar daring dengan 7.300 peserta. Habiburokhman juga menyebut komisi yang membidangi penegakan hukum itu sudah melakukan delapan kali penyerapan aspirasi, termasuk dengan Mahkamah Agung, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan advokat. 

Ia menyatakan pentingnya kolaborasi publik dalam menyempurnakan RUU KUHAP. “Kami mengundang semua pihak untuk menyampaikan masukan. Ini adalah momen penting untuk memperbaiki hukum acara pidana kita agar lebih adil dan berpihak pada hak asasi,” kata dia.

Habiburokhman menyampaikan sejumlah isu krusial yang menjadi perhatian dalam revisi KUHAP, seperti penguatan hak tersangka, advokat, serta kejelasan parameter penahanan. Politikus dari Partai Gerindra ini berpendapat bahwa saat ini, hukum acara rentan dijadikan alat kriminalisasi. ”Maka kami ingin ke depan, siapa pun yang menjalani proses hukum tetap mendapat perlindungan hak dasar,” ujar dia.

Dalam draf terbaru, dia mengklaim, tersangka akan diberi hak untuk lebih cepat didampingi penasihat hukum, serta diberi akses menyampaikan keberatan jika mengalami intimidasi selama proses hukum berlangsung.

Adapun ia menyampaikan revisi KUHAP akan dibahas pada masa sidang berikutnya. Semula, DPR menyatakan akan melanjutkan pembahasan tentang perubahan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana itu setelah masa reses Lebaran 2025.

Namun, keputusan itu berubah. "Kami bersepakat (RUU KUHAP) belum di masa sidang saat ini, kami hold dulu kemungkinan besar (dibahas) baru di masa sidang yang akan datang," kata Habiburokhman. 

Dia menjelaskan keputusan itu mempertimbangkan singkatnya masa sidang DPR ke-17 ini. Menurut dia, masa sidang kali ini hanya memiliki 25 hari aktif. Sementara ia menyebut idealnya pembahasan RUU membutuhkan durasi paling lama hingga 2 bulan. 

Selanjutnya, Habiburokhman juga menyebut selama menuju masa sidang berikutnya akan dimanfaatkan untuk menampung tambahan aspirasi masyarakat.  "Satu bulan ke depan kami membuka diri terhadap masukan-masukan dari masyarakat terkait KUHAP," ujarnya. 

Sebelumnya Komisi III DPR telah mengundang Koalisi Masyarakat Sipil untuk berdiskusi informal mengenai RUU KUHAP. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menegaskan pembahasan RUU KUHAP perlu menampung aspirasi dan kehendak seluruh lapisan masyarakat. 

Isnur juga mendesak Komisi III untuk berhati-hati dalam membahas RUU KUHAP. “Jadi kami ingatkan agar pembahasan tidak terburu-buru, perlahan-lahan, dan tidak seolah ditargetkan akan selesai misalnya bulan Mei atau bulan Juni,” kata dia di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 8 April 2025.

Koalisi pun menyoroti bahwa RUU KUHAP secara keseluruhan mencakup sebanyak 334 pasal, dengan total daftar inventarisasi masalah atau DIM yang perlu dibahas mencapai 1.570 pasal/ayat pada bagian batang tubuh dan 590 pasal/ayat pada bagian penjelasan. 

Maka dari itu, mereka meminta DPR untuk mengundang dan mendengarkan semua pihak, termasuk kelompok perempuan, kelompok buruh, kelompok nelayan, para guru besar, hingga masyarakat dengan disabilitas. 

Pembahasan yang melibatkan semua lapisan masyarakat itu supaya segala masalah yang ada saat ini bisa tertampung dan tertangani. “Jangan sampai ini kayak pembahasan yang dikejar waktu, tapi tidak menyelesaikan masalah,” kata Isnur. 

Penyelesaian RUU KUHAP ini dianggap krusial oleh pemerintah agar tidak terjadi ketimpangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan mulai berlaku pada Januari 2026. Selain itu, pembaruan dianggap sebagai upaya untuk memastikan sistem hukum acara pidana yang lebih baik dan tidak menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelaksanaannya.

Dian Rahma Fika berkontribusi dalam penulisan artikel ini. 

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |