
JAKARTA, JOGLOSEMARNEWS.COM – Penulisan sejarah hampir selalu memunculkan kontroversi. Begitu pula dengan upaya pemerintah saat ini yang tengah menyusun ulang sejarah Indonesia. Kritik pun berdatangan, salah satunya dari mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD.
Mahfud secara tegas menolak ide negara menulis sejarah secara resmi, terutama menyangkut peristiwa-peristiwa yang masih diperdebatkan. Menurutnya, cukup negara menyusun buku pelajaran yang berisi garis besar sejarah tanpa masuk ke wilayah yang rawan kontroversi.
“Negara sebaiknya tidak perlu menulis sejarah secara komprehensif. Biarlah itu menjadi domain para ahli dan ilmuwan. Pemerintah cukup menuliskan fakta-fakta umum yang sudah menjadi kesepakatan bersama,” ujar Mahfud dalam kanal YouTube miliknya, Rabu (18/6/2025).
Mahfud mengaku pernah menolak rencana serupa saat masih menjabat di kabinet. Ia bahkan menyebut ada dorongan dari sejumlah akademisi dan LSM agar negara menyusun sejarah ulang, namun ia tetap menolaknya.
“Kalau sejarah ditulis negara, nanti berubah lagi tergantung siapa yang berkuasa,” tegasnya.
Penolakan Mahfud tidak lepas dari pengalamannya membaca sejarah versi Mohammad Yamin. Menurut Mahfud, sebagian isi buku sejarah yang ditulis Yamin mengandung narasi yang tidak benar dan akhirnya menjadi rujukan di masa Orde Baru.
Selain itu, Mahfud juga menyinggung potensi bias yang selalu mengintai saat sejarah ditulis oleh pihak berkepentingan. Ia menyebutkan contoh kasus sejarah tokoh-tokoh seperti Ken Arok dan Walisongo yang interpretasinya bisa sangat beragam.
Ia menekankan pentingnya memberikan ruang kepada para akademisi untuk menulis sejarah secara independen dan ilmiah. “Kalau sudah masuk wilayah HAM, masa konflik, dan kekuasaan, biarlah itu ditulis para sejarawan saja, bukan negara,” imbuhnya.
Pemerintah Tetap Jalan
Di sisi lain, Kementerian Kebudayaan tetap melanjutkan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengungkapkan, proyek ini melibatkan lebih dari 100 sejarawan dari berbagai kampus di seluruh Indonesia.
“Kita ingin sejarah Indonesia ditulis dengan perspektif yang inklusif, berbasis Indonesia-sentris. Jadi tidak lagi dari sudut pandang kolonial,” ujar Fadli dalam rapat bersama Komisi X DPR RI beberapa waktu lalu.
Proyek ini dirancang dalam 10 jilid utama dan satu indeks. Beberapa bab utama mencakup sejarah awal peradaban Nusantara, interaksi global dengan dunia Timur dan Barat, perlawanan terhadap penjajahan, hingga perkembangan era Reformasi.
Fadli juga menyebut bahwa dalam proyek ini, istilah “Orde Lama” akan dihapus karena dianggap bukan bagian dari penamaan resmi yang pernah digunakan. Menurutnya, istilah itu muncul dari sejarawan pada era Orde Baru dan memiliki konotasi negatif.
“Kami ingin pendekatannya lebih netral. Penamaan seperti Orde Lama itu tidak pernah digunakan oleh pemerintah saat itu, jadi tidak objektif,” terangnya.
PDIP Siapkan Versi Sejarah Sendiri
Respons terhadap proyek ini juga muncul dari partai politik, salah satunya dari PDIP. Ketua DPP PDIP, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, menyatakan pihaknya akan menulis sejarah versi mereka sendiri. Ia menilai subjektivitas akan selalu ada dalam setiap penulisan sejarah, sehingga tidak ada versi tunggal yang benar-benar netral.
“Kalau yang menulis punya preferensi tertentu, ya pasti ada bagian sejarah yang tidak dimasukkan. Itu hal yang manusiawi,” ujar Bambang di Kompleks Parlemen, Senin (16/6/2025).
Ia bahkan mengakui dirinya pun tidak akan menulis sisi buruk dari tokoh idolanya, Presiden pertama RI Sukarno. “Saya akan pilih sisi baiknya saja. Namanya juga subjektif,” ungkapnya.
Aliansi Sipil Turut Menolak
Tak hanya tokoh politik, kritik juga datang dari kalangan masyarakat sipil. Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyampaikan penolakan terhadap wacana penulisan sejarah tunggal oleh pemerintah.
AKSI menilai sejarah resmi yang dikontrol negara rawan menjadi alat pembenaran kekuasaan dan bisa mengubur pelanggaran HAM masa lalu.
“Sejarah seharusnya memberikan ruang bagi semua suara, termasuk mereka yang pernah terpinggirkan. Bukan justru membungkam kebenaran,” tegas AKSI dalam pernyataan tertulis, Senin (2/6/2025).
Menurut AKSI, tanpa kebebasan dalam menulis sejarah, bangsa ini berisiko mengulang kesalahan masa lalu karena kehilangan refleksi yang jujur terhadap peristiwa-peristiwa kelam.
Namun demikian, kritik tinggalah sebagai kritik, karena proyek penulisan ulang sejarah ini ditargetkan rampung sebelum perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025 mendatang. Dan, jalan menuju konsensus sejarah tampaknya masih jauh dari kata tuntas. [*]
Berbagai sumber
Harap bersabar jika Anda menemukan iklan di laman ini. Iklan adalah sumber pendapatan utama kami untuk tetap dapat menyajikan berita berkualitas secara gratis.