PRESIDEN Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025 tentang Pelindungan Negara terhadap Jaksa dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia. Perpres tersebut telah diundangkan di Jakarta pada Rabu, 21 Mei 2025.
Melalui peraturan ini, Kejaksaan berhak mendapatkan pelindungan dari dua institusi keamanan negara, yakni Polri dan TNI. Pelindungan tersebut dapat dilakukan atas permintaan Kejaksaan. “Dalam menjalankan tugas dan fungsi, jaksa berhak mendapatkan perlindungan negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta benda,” demikian bunyi Pasal 2 pada perpres tersebut.
Pasal 5 Perpres 66/2025 secara rinci mengatur tentang pelindungan negara bagi jaksa dan/atau anggota keluarganya oleh Polri. Adapun Pasal 6 menyatakan pelindungan negara oleh Polri ini mencakup bentuk pelindungan atas keamanan pribadi, tempat tinggal, pelindungan pada tempat kediaman baru atau rumah aman, pelindungan terhadap harta benda, kerahasiaan identitas, dan/atau bentuk pelindungan lain sesuai kondisi dan kebutuhan.
Sementara itu, Pasal 9 perpres itu mengatur pelindungan jaksa oleh TNI, yang diberikan dalam bentuk pelindungan terhadap institusi kejaksaan, dukungan personel TNI dalam pengawalan jaksa saat menjalankan tugas maupun fungsi, serta bentuk pelindungan lain sesuai kondisi dan kebutuhan yang sifatnya strategis.
Pasal 9 ayat (2) secara rinci menjelaskan bahwa pelindungan sesuai kondisi dan kebutuhan bersifat strategis itu yang berkaitan dengan kedaulatan dan pertahanan negara. Nantinya, ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan negara oleh TNI ditetapkan bersama Jaksa Agung dan Panglima TNI.
SETARA Institute: Perpres Pelindungan Jaksa Bermasalah secara Materiel dan Formil
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi menilai penerbitan perpres pelindungan jaksa dapat berujung pada legalisasi pelibatan militer dalam proses penegakan hukum oleh kejaksaan.
Dia menyebutkan kebijakan presiden ini berpotensi membuka peluang pungutan liar hingga korupsi. “Juga melemahkan penegakan hukum dan menghancurkan kepercayaan publik pada proses penegakan hukum,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis pada Senin, 26 Mei 2025.
Menurut dia, Perpres 66/2025 juga berpotensi memantik gesekan dan mencampuradukan kewenangan. Khususnya kewenangan antara tiga lembaga, yakni kejaksaan, Polri, dan TNI.
SETARA Institute berpendapat penerbitan perpres itu telah menyalahi pembentukan aturan secara materiel maupun formil. Sebab, pembentukan perpres hanya didasarkan pada Pasal 4 UUD 1945 dan tidak merujuk pada UU TNI maupun UU Kejaksaan. “Secara hukum, hal tersebut merupakan bentuk legalisme otokratis (autocratic legalism) yang menegaskan kecenderungan pemanfaatan hukum untuk kepentingan kekuasaan politik pemerintahan semata,” ujarnya.
Hendardi menilai tidak ada ancaman sistematis serta masif yang nyata terhadap kinerja kejaksaan yang memerlukan perpres khusus secara instan. Sehingga, secara formil, pembentukan perpres ini tidak taat prosedur karena tidak melalui Program Penyusunan Perpres (Progsun) yang panjang.
Prosedur yang diterabas ini diduga untuk melegitimasi “main mata” antara kejaksaan dan TNI yang sebelumnya didasari oleh MoU yang juga dianggap salah.
SETARA Institute menyarankan presiden lebih berfokus pada perbaikan integritas dan profesionalitas aparat penegak hukum serta profesionalitas militer di bidang pertahanan. “Bukan malah menarik-narik militer ke dalam jabatan dan penegakan hukum sipil yang justru mendistraksi profesionalitas militer dalam pertahanan negara,” kata Hendardi.
Koalisi Masyarakat Sipil: Presiden Seharusnya Cabut Surat Telegram Panglima TNI
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menanggapi terbitnya Perpres 66/2025. “Perpres 66/2025 tidak urgent dan tidak dibutuhkan,” kata Koalisi ini dalam keterangan resmi, dikutip pada Jumat, 23 Mei 2025.
Dalam sistem presidensial dan tanpa ada perpres tersebut, kata Koalisi ini, presiden dapat memerintahkan Jaksa Agung memperkuat sistem keamanan internal yang dimiliki kejaksaan. Presiden juga bisa meminta Polri terlibat dalam bantuan pengamanan.
“Hingga saat ini, belum ada realitas ancaman yang nyata terhadap keamanan nasional terkait dengan kondisi kejaksaan yang mengharuskan presiden membuat perpres,” ujar Koalisi ini.
Menurut Koalisi ini, kondisi kejaksaan masih dalam keadaan normal menangani kasus-kasus hukum yang ada. Selain itu, tidak ada ancaman militer yang mengharuskan presiden ataupun Panglima TNI mengerahkan militer ke kejaksaan. “Dengan demikian, Perpres 66/2025 tidak memiliki urgensi dan tidak proporsional dalam hal pelibatan TNI,” kata Koalisi.
Koalisi ini memandang, lahirnya perpres tersebut tidak bisa lepas dari masalah Surat Telegram Panglima atau Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) yang mengerahkan hampir 6 ribu personel tentara ke kejaksaan. Menurut Koalisi, perpres ini adalah bentuk kamuflase hukum atas kesalahan Panglima TNI yang mengerahkan pasukan ke kejaksaan. Sebab, Perpres 66/2025 lahir setelah terbitnya telegram.
Menurut Koalisi ini, penerbitan Perpres 66/2025 adalah model politik fait accompli yang tidak sehat dan berdampak buruk bagi demokrasi. Seharusnya, presiden mencabut surat telegram tersebut dan bukan malah membentuk perpres. Dalam konteks ini, kata Koalisi, Presiden seolah-olah sedang membenarkan kesalahan Panglima TNI dengan jalan menerbitkan perpres tersebut.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, LBH Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, LBH Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, dan De Jure.
Panglima TNI: Pengamanan Jaksa oleh TNI Sesuai dengan UU
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menegaskan pengawalan kejaksaan oleh personel TNI sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI.
“Jadi pelibatan TNI di kejaksaan sebenarnya sudah sesuai dengan Undang-Undang nomor 3 tahun 2025 tentang TNI, yaitu tugas pokok TNI, dan tugas dalam OMSP (operasi militer selain perang) yaitu mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis,” kata Agus di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 26 Mei 2025, seperti dikutip dari Antara.
Agus juga mengatakan TNI mempunyai nota kesepahaman (MoU) dengan kejaksaan tentang pendidikan dan latihan, pertukaran informasi, penugasan prajurit TNI di lingkungan kejaksaan, serta penugasan jaksa sebagai supervisor di Oditurat Jenderal TNI.
Kemudian dukungan dan bantuan personel TNI, dukungan kepada TNI di bidang perdata dan pidana umum, pemanfaatan sarana dan prasarana, serta koordinasi teknis penyidikan dan penuntutan serta penanganan perkara. Dia menambahkan pengawalan oleh TNI terhadap jaksa turut diperkuat dengan Pasal 2 dan Pasal 4 Perpres 66/2025.
“Komitmen TNI, kami bekerja secara profesional dan proporsional, serta berorientasi kepada sinergitas kelembagaan, dan dapat meningkatkan keamanan dan efektivitas penegakan hukum di Indonesia,” ujarnya.
Hanin Marwah, Amelia Rahima Sari, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Kontroversi Penulisan Ulang Sejarah Indonesia