Membangkitkan Kekuatan Film Dokumenter Lewat Ngomi O Obi

1 day ago 14

INFO NASIONAL - Film dokumenter turut menjadi salah satu wahana untuk menyampaikan informasi dengan lebih mendalam. Film “Ngomi O Obi” yang berarti “Kami yang di Obi” ini, memotret kehidupan masyarakat yang berada di wilayah tambang nikel, Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara.

Film dokumenter berdurasi sekitar 50-an menit tersebut diproduksi oleh TV Tempo berkolaborasi dengan sutradara Arfan Sabran. Tim Produksi TV Tempo, Dony P. Herwanto mengatakan film dokumenter itu mengangkat fakta yang terjadi di Pulau Obi. “Semua harus punya porsi yang sama, sehingga kebaikan yang kami sampaikan ini tidak melenakan. Dan apabila disaksikan dengan seksama, tetap ada kritik dalam film ini sebagai bentuk kontrol sosial,” kata Dony saat diskusi film 'Ngomi o Obi' di Gedung Djarnawi Hadikusumo Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Sabtu, 24 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Proses terciptanya film ini, kata Dony, telah melalui proses panjang, termasuk pemilihan Pulau Obi sebagai lokasi utama yang disorot, lantaran kondisi kekinian masyarakat yang jarang diperhatikan oleh media arus utama. Film “Ngomi O Obi” tak hanya memantik nalar kritis penonton atas dinamika sosial dan konflik lingkungan di wilayah tambang terpencil, namun juga memberikan gambaran atas apa saja tanggung jawab perusahaan tambang pada lingkungan, yang acap kali diabaikan. Masyarakat yang tanggap atas perubahan di tempatnya dengan terus melangsungkan daur hidup, turut disorot tanpa dikurangi dan dilebih-lebihkan. 

Dalam film ini, muncul sosok yang memegang peran sentral atas penyesuaian kehidupan masyarakat Pulau Obi sejak keberadaan tambang nikel. Siti Marnia ditampilkan sebagai local hero yang tanggap atas perubahaan setelah Harita Nickel mengeksplorasi alam Pulau Obi. Meski Siti Marnia dan warga Pulau Obi lainnya dianggap sebagai mute group atau kelompok yang tidak terekspos, kenyataannya apa yang dilakoni terbukti jitu mengantarkan mereka pada peningkatan taraf ekonomi keluarga.

"Saya senang karena TV Tempo membuat film dokumenter sesuai dengan apa yang saya dan warga lainnya alami,” kata perempuan yang biasa disapa Mama Nia, ini. Selama ini, menurut dia, para petani di Pulau Obi kurang terekspos. “Padahal dengan keberadaan tambang ini, kami mengalami peningkatan penghasilan yang signifikan.”

Mahasiswa menonton film dokumenter “Ngomi O Obi” di Gedung Djarnawi Hadikusumo Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Sabtu, 24 Mei 2025. Dok. TEMPO

Mama Nia tak memungkiri sempat ada penolakan dari masyarakat ketika muncul rencana penambangan di sekitar tempat tinggalnya. Namun setelah melihat dan merasakan sendiri, Mama Nia justru menangkap peluang yang kini manfaatnya telah dirasakan oleh masyarakat Pulau Obi.

Berbagai dinamika dan kondisi kekinian di wilayah tambang Pulau Obi, berhasil dipotret dengan apik, berkat tangan dingin Nicky Nugroho Soetarto sebagai Director of Photography (DoP). Setelah berdiskusi dengan sutradara untuk mengetahui visi dan misi yang diinginkan oleh Arfan Sabran, Nicky mengeksekusinya dengan tawaran yang tak jamak dijumpai dalam kemasan film dokumenter jurnalistik. Berbekal pengalaman dan referensi, Nicky menampilkan kebaruan pada karya kolaborasi pertamanya dengan Arfan Sabran.

"Melalui film ini, saya ingin menampilkan sesuatu yang lebih festive dan dynamic karena sutradara membebaskan saya untuk mengeksplorasi gambar, namun konteksnya tetap tersampaikan,” katanya. “Saya melihat dokumenter jurnalistik yang ada saat ini sekadar informatif dan monoton dengan berbagai pakem.”

Apa yang disampaikan Nicky terbukti pada layar. Tak sedikit momen pada film yang dikemas dengan komposisi berani atau tak sekadar main aman. Tujuannya, memberikan kesan dan pengalaman visual yang baru bagi penonton film dokumenter. Penataan gambar yang tak monoton ini pula, yang mendukung penyampaian perasaan dari tokoh kepada penonton. 

Dosen Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam UMY, Subkhi Ridho mengatakan, film dokumenter “Ngomi o Obi” ini memiliki pesan berbeda dengan tradisi Tempo. Meski begitu, hal ini bukan sebuah kesalahan. 

Kehadiran film “Ngomi O Obi” justru bisa menjadi salah satu contoh bagaimana mengemas film dokumenter dengan sudut pandang tentang informasi kebaikan, namun tak melupakan kritik. Terlebih film ini tetap mengusung kaidah jurnalistik, semisal cover both side dengan menyajikan data dan wawancara dari seluruh pihak yang terlibat dan terdampak tambang nikel di Pulau Obi.

“Dari film “Ngomi o Obi”, kita belajar bahwa segala sesuatu tidak bisa dilihat hanya dari satu perspektif saja,” kata Ridho. Jika sektor pertambangan hanya dilihat dari perspektif buruk, dia melanjutkan, memang hanya membawa ketidakmanfaatan lantaran mengeksploitasi alam secara berlebihan hingga berisiko mencerabut kebudayaan masyarakat sekitar. Tetapi dari Pulau Obi, kata Ridho, publik mendapatkan perspektif berbeda tentang bagaimana jika sebuah perusahaan benar-benar menunjukkan tanggung jawab dan komitmennya. (*)

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |