Membedah Zona Nyaman dari Tinjauan Psikologi

2 days ago 13

TEMPO.CO, Jakarta - Rasa nyaman dan rasa takut terkadang dapat hadir bersamaan dalam sebuah kesempatan yang tak terduga. Membuat Anda sulit untuk membuat keputusan akan suatu hal. Ya, biasanya orang-orang cenderung akan memilih suatu hal yang menurutnya tidak menimbulkan risiko, ketimbang mengambil peluang besar dengan melepaskan apa yang telah dijalani sekarang. Jika Anda merasakan hal demikian, bisa jadi Anda telah terjebak dalam suatu kondisi yang disebut juga dengan istilah zona nyaman

Dinukil dari laman website Konsorium Psikologi Ilmiah Nusantara konsep zona nyaman pertama kali muncul pada 2009 dan dikemukakan oleh psikolog bernama Alasdair White. Dalam teorinya White menjelaskan bahwa zona nyaman adalah ruang mental dimana seseorang dapat beroperasi dalam keadan stabil. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Definisi lain zona nyaman juga diungkapkan oleh Brown dan Prazeres yang mengatakan kesimpulannya menyatakan bahwa zona nyaman adalah kondisi di mana seseorang merasa aman, tenang, dan tidak terancam oleh risiko atau tantangan yang terlalu besar. Dalam konteks psikologi zona nyaman diartikan juga dengan kondisi emosional yang stabil, yang membuat seseorang dapat menjalankan fungsinya dengan baik tanpa merasa stres berlebihan.  Konsep zona nyaman adalah dimana segala sesuatu terasa dapat diprediksi, dan kita memiliki kendali penuh atas keadaan. 

https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/1608-perlukah-keluar-dari-zona-nyaman#:~:text=Konsep%20ini%20pertama%20kali%20dikemukakan,%22%20(White%2C%202009). 

Konsep zona nyaman seringkali dikaitkan dengan suatu yang sudah biasa dilakukan, dan sesuatu yang tidak menimbulkan keraguan. Bertolak belakang dengan suatu hal yang baru, yang belum pernah dijumpai, dan memiliki risiko jika dilakukan. 

Dilansir dari laman CNA Lifestyle beberapa ahli menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan knsep zona nyaman menurut tinjauan psikologis. Pendiri The Midnight Therapist, tuan Lee mengatakan bahwa tubuh memiliki sensor yang dapat merespon keadaan tertentu sebagai sesuatu yang tidak nyaman untuk dilakukan.  Sensor tersebut akan membuat seseorang akan lebih susah keluar dari kebiasaan-kebiasaannya atau mencoba hal-hal baru yang pernah dilakukan sebelumnya. 

"Korteks prefrontal di otak kita berupaya mengatur emosi ini, menganalisis risiko, dan membuat keputusan. Seiring berjalannya waktu, paparan terhadap ketidaknyamanan memperkuat pengaturan ini, sehingga lebih mudah untuk menghadapi tantangan di masa mendatang," papar Lee. 

Saat kita berhadapan dengan hal-hal baru yang belum pernah kita temui sebelumnya respon otak untuk melawan akan diaktifkan. Akibatnya tubuh akan melepaskan hormon stres seperti adrenalis dan kortisol. Kondisi tersebut sebenarnya tidak selamanya dapat terjadi. Di saat kita memilih untuk menjalani dan melawan ketakutan yang terjadi, seiring waktu otak dapat belajar mengatur zat-zat kimia tersebut sehingga tubuh akan mengehntikan respon negatif yang berlebihan. 

Seorang psikoterapis Lee Kai Xuan juga berpendapat bahwa pengalaman dan mencoba hal-hal baru memberikan dampak yang postif bagi otak.  Pembelajaran memungkinkan otak untuk berubah dan beradaptasi. Pada saat menerima pembelajaran baru jaringan saraf otak dapat berubah, menata ulang, dan terus bertumbuh. 

Pendiri dan direktur praktik swasta Olive Branch Psyhology and Counselling Service, dokter Sam Roberts menuturkan bahwa usia, pendidikan, dan kepribadian seseorang merupakan faktor yang mempengaruhi kemauan untuk keluar dari zona nyaman. Orang yang memiliki usia matang cenderung lebih mengutamakan stabilitas. Orang yang tinggal dalam lingkungan yang aman cenderung khawatir terhadap ketidakpastian dan orang yang memiliki kepribadian penghindar cenderung lebih cemas dan memiliki pola pikir yang tetap. Sebaliknya mereka yang sering keluar dari zona nyaman akan memiliki kepribadian lebih tangguh dan pola pikir yang lebih berkembang. 

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |