Napak Tilas Malaka: Persimpangan Sejarah, Islam, dan Perdagangan Global (Part. 3)

2 hours ago 4

Image Husnul Khatimah

Ekonomi Syariah | 2025-09-22 09:31:26

Keesokan paginya sesuai jadwal jam 07.00 dimulai dengan breakfast dan pukul 08.00 tepat dimulai Tugas Mengeksplor Sejarah Penyebaran Islam di Nusantara dan Perdagangan di Melaka bagi kami dari Prodi Desy. Suasana di sini benar-benar mewakili jargon negara mereka, yaitu Truly Asia. Di mana terdapat area berniaga bagi 3 etnis besar yang mendiami negara ini, di antaranya Melayu, China dan India masing-masing menonjolkan ciri khas budaya mereka.

Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar di atas merupakan jalan pembuka menuju pusat perdagangan di Melaka, dimulai dari gerbang Little India. Di sana terdapat beberapa becak hias dan penjual souvenir yang dijajakan dari etnis India dan Cina. Seperti yang sudah dituliskan pada peragraf sebelumnya bahwasannya iconWorld Tourisme Day 2025 Melaka, Malaysia terdapat hampir di setiap sudut jalan.

Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi situs bersejarah peninggalan peradaban Kerajaan Malaka yang pernah berjaya pada awal abad ke-15 Masehi di Semenanjung Malaya. Letak kerajaan yang berada di dekat Selat Malaka menjadikannya pernah memiliki pelabuhan perdagangan paling sibuk di Asia Tenggara. Adapun pusat pemerintahannya berada di Melaka, yang sekarang termasuk dalam negara Malaysia (Prinada, 2021).

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Di sini kami melihat peninggalan Kerajaan Malaka yang bercorak Islam dipandu oleh Dr. Faisal, dosen Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Beliau menjelaskan kerajaan Islam Melayu ini runtuh pada tahun 1511 oleh serangan bangsa Portugis yang memabawa misi agama Katholik, setelah kurang lebih 100 tahun berdiri sejak tahun 1400. Kemudian oleh bangsa penjajah tersebut untuk menandai kemenangannya berhasil menaklukkan kerajaan Islam dibangunlah sebuah gereja di atasnya berikut prasasti dalam bahasa Portugis yang mengukir nama-nama mereka beserta keluarganya yang kini disandingkan dengan sebuah nisan kecil dalam bahasa Inggris sebagai terjemahan dari isi prasasti tersebut (Ab.Mastan, 2020).

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Di dalamnya juga terdapat ruangan penyiksaan untuk “Warga Tempatan” atau dalam bahasa Indonesia berarti warga lokal atau pribumi yang melawan penjajahan yang mereka lakukan. Kerajaan ini juga menghadap langsung ke Selat Malaka yang kini di sekitarnya telah banyak dibangun kantor pemerintahan, kantor swasta dan pusat perbelanjaan modern. Dalam gambar tersebut Dr. Faisal Sedang Memandu di Benteng Alfamosa, di antaranya diapit dua meriam besar.

Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Total terdapat 9 “Kubu” atau Benteng dalam bahasa Indonesia sebagai penghalang serangan dari laut yang kini tersisa reruntuhannya karena hancur oleh serangan dan mulai lapuk di makan waktu. Benteng ini mengingatkan saya pada Benteng Fort Rotterdam yang juga menghadap ke Selat Makassar atau tepatnya di Kota Makassar sekitar Pantai Losari yang masih terpeliharan dengan baik sampai saat ini, peninggalan Kerajaan Gowa Tallo, kerajaan Makassar yang besar dan bercorak Islam yang pernah meraih masa keemasannya sebelum jatuh ke tangan Belanda dan kini juga menjadi tempat wisata dan kajian budaya di ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan.

Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Persis di depan Kubu Alfamosa adalah Kerajaan Islam Malaka berada di atas ketinggian yang diberi nama “Bukit Malaka”. Untuk mencapainya kami menaiki beberapa anak tangga yang tidak sempat kami hitung di dalamnya terdapat beberapa Makam Belanda dalam ukuran besar berikut nama-nama yang dimakamkan di dalamnya. Bahkan di situ terdapat beberapa pedagang dari etnis India yang menjajakan dagangan khas budayanya dan beberapa souvenir khas negeri Melaka.

Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar di atas menunjukkan landmark Negeri Melaka jika dilihat dari ketinggian atau bekas reruntuhan kerajaan. Terlihat bahwa modernitas dan artefak sejarah bisa saling berdampingan tanpa merusak warisan budaya. Di negara ini juga tidak terlihat satupun aksi vandalisme, semua terlihat rapi, teratur dan bersih meski tempat sampah sulit ditemui di sana.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Berdiri di atas peninggalan Kerajaan Islam Melayu ini mengingatkan kembali pelajaran Sejarah sejak SD dulu tentang Kerajaan Malaka di Nusantara, sebagai sesama rumpun Melayu yang dulu bernama Nusantara, Indonesia dan Malaysia memiliki akar budaya yang sama. Sebelum beranjak lebih jauh berikut penulis uraikan sejarah singkat asal mula berdirinya kerajaan ini berdasarkan panduan dari Dr. Faisal dan diperkaya dengan literatur terkait.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Asal mula berdirinya kerajaan di kawasan Tanah Melayu berhubungan dengan penyerangan Majapahit pada penghujung abad ke-14 M. Majapahit sendiri adalah kerajaan besar bercorak Hindu-Buddha dengan pusat pemerintahan di Trowulan, Jawa Timur, yang memiliki kekuatan sangat dominan. Dalam masa ekspansinya, Majapahit berhasil menaklukkan Tumasik (sekarang Singapura). Akibat serangan tersebut, Parameswara yang saat itu berkuasa di Tumasik terpaksa meninggalkan wilayahnya. Ia pun berlayar menyusuri pesisir Selat Malaka bersama sejumlah pengikut setianya. Gambar di samping merupakan Dr. Faisal yang sedang menjelaskan peradaban Kerajaan Malaka.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Dalam karyanya When China Ruled the Seas: The Treasure Fleet of the Dragon Throne (2014), Louise Levathes menguraikan bahwa pada tahun 1405 M Parameswara mendirikan sebuah kerajaan baru di tepi Selat Malaka. Kerajaan tersebut kemudian dikenal dengan nama Malaka atau Melaka. Sementara itu, berdasarkan catatan Mariana dalam Modul Sejarah Indonesia Kelas X (2020:4), diketahui bahwa raja pertama Malaka bernama Iskandar Syah, yang sebenarnya adalah Parameswara setelah ia memeluk agama Islam. Beliau rutin mengadakan “Pengajian Ugama” (Kajian Keagamaan) dari ulama Aceh, kami lihat di peta posisi kerajaan dekat dengan dengan wilayah Aceh dan masa itu sampai kini peradaban Islam di Nusantara berpusat di Aceh. Kerajaan ini juga menerapkan Hukum Qanun Islam dalam pemerintahannya (Maryamah et al., 2023).

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar patung di atas berada di kawasan Kota Tua Malaka, Malaysia, tepatnya di reruntuhan Gereja St. Paul’s Hill. Sosok yang digambarkan adalah Santo Fransiskus Xaverius (Francis Xavier), seorang misionaris Katolik dari Spanyol-Portugis yang tergabung dalam Ordo Yesuit pada abad ke-16. Ia dikenal luas sebagai penyebar agama Katolik di Asia, mulai dari India, Malaka, hingga Jepang, bahkan sempat merencanakan misi ke Tiongkok sebelum meninggal pada tahun 1552 di Pulau Shangchuan, dekat daratan Cina (Hardjowidjono, 1989).

Selama perjalanannya, Fransiskus Xaverius kerap singgah di Malaka dan meninggalkan pengaruh penting dalam penyebaran ajaran Katolik di wilayah ini. Sebagai bentuk penghormatan atas perannya, dibuatlah patung ini yang kini menjadi salah satu simbol bersejarah peninggalan kolonial Portugis di Malaka. Maka melihat saksi sejarah tersebut hendaknya kita seorang muslim bukan hanya mendatangi tempat yang kini menjadi kawasan wisata global tersebut hanya sekedar kunjungan semata, melainkan menjadikan sebagai ibrah bahwasannya umat ini pernah jatuh ke tangan penjajah dan berusaha untuk mengembalikan izzah dien yang agung ini di bumi nusantara.

Malaysia sendiri berdasarkan penuturan Dr. Faisal pernah dijajah 4 negara, yaitu Portugis, Belanda yang kemudian beralih ke Indonesia dan Inggris, dan pernah Jepang selama 2,5 tahun. Misi penjajahan Bangsa Portugis memang berbeda dengan bangsa Belanda karena mereka membawa misi Katholik, di mana setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Islam di Andalusia kini Spanyol pada tahun 1200 yang telah berdiri selama 800 tahun. Kemudian mereka memusatkan perhatiannya ke wilayah Asia Tenggara, seperti Manila, Filipina dulunya bernama “Minallah”. Penduduknya dipaksa untuk mengikuti ajaran agama mereka sehingga agama tersebut yang menjadi mayoritas di negara tersebut. Demikian juga pernah di Indonesia dan Melaka, akan tetapi mereka tidak berhasil membuat wilayah ini menjadi pemeluk agama tersebut.

Di Tanah Melaka sendiri lahirlah beberapa kelompok yang diberi nama “Serani” dan menikah dengan “Penduduk Tempatan”. Adapun yang menyebabkan keruntuhan peradaban di wilayah ini akibat pengkhianatan dari dalam, orang asing tidak akan berhasil masuk ke dalam mencabik-cabik kemuliaan syariat dan kerajaan ini tanpa ikut campur “musuh dalam selimut”. Maka kondisi ini ada di setiap zaman, bukan hanya baru terjadi saaat ini.

Kemudian pada pada tahun 1541 datanglah Belanda dan berupaya selama 30 tahun menaklukkan dengan bekerja sama Kerajaan Melayu Johor, akan tetapi mereka tidak membawa misi agama melainkan fokus pada misi ekonomi, yaitu pengerukan kekayaan alam tanah jajahan seperti tanam paksa di Indonesia, yang belakangan baru ketahuan ternyata kerja sama para Raja dengan pihak penjajah.

Karena penentangan yang kuat dari penduduk sehingga tanam paksa tidak terjadi di negeri tersebut. Tidak banyak perkembangan keagamaan oleh Belanda di wilayah ini. Kemudian datanglah Inggris dan ini yang paling lama mendirikan koloninya di tanah Melayu, setelah perjanjian dengan Belanda yang mengambil wilayah Nusantara bagian Indonesia dan Inggris di wilayah Malaysia.

Wilayah Nusantara yang dulu pernah bersatu dipisahkan oleh penjajahan dua negara. Sampai di era kemerdekaan keduanya akhirnya tetap menjadi dua negara yang berbeda, Indonesia berjihad melawan penjajahan Portugis, Spanyol, Inggris dan Jepang selama kurang lebih 3 tahun, kesemuanya tidak begitu lama dibandingkan dengan Belanda selama 350 tahun dan merdeka pada 17 Agustus 1945. Adapun Malaysia selama 440 tahun juga di bawah jajahan 4 negara, yaitu Portugis, Belanda, Inggris yang paling lama dan Jepang selama 2,5 tahun yang merdeka pada 31 Agustus 1957.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Posisi Kerajaan Melaka menghadap langsung ke Selat Malaka yang sedari dulu hingga kini menjadi pusat perdagangan global. Sejak era perdagangan Sutra Cina yang terkenal di masa lampau melibatkan banyak negara di berbagai belahan benua Asia, yaitu Cina dan Eropa, bangsa yang kelak menjadi penjajah di wilayah yang terkenal dengan slogannya “Tanah Bertuah Negeri Beradat” (Rambe, 2021).

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Perjalanan ditutup dengan mengunjungi Masjid Selat Melaka sebelum menuju Kuala Lumpur International Airport Terminal KLIA 1 di bawah rintik hujan nan sepoi angin, mengabadikan kebersamaan yang singkat antara 2 negara dan 2 universitas dengan foto bersama di pelataran masjid bersejarah ini.

Sumber: Dokumentasi Pribadi
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Demikian kisah yang bisa kami tuliskan dalam sebuah artikel singkat yang tidak kesemuanya pengalaman perjalanan bisa diuraikan dan memberi banyak insight baru. Terutama dunia pendidikan yang begitu maju di sana, tingkat kedisiplinan yang tinggi di berbagai bidang bahkan sampai mengantri saat lampu merah tidak ada yang berhenti di zebra cross khusus untuk pejalan kaki dan semua menggunakan helm. Warga yang merokok di tempat umum pun sulit ditemui di sana sekalipun kami menemukan seorang saja dari etnis Cina saat lawatan ke Putrajaya, pusat pemerintahan di negara tersebut.

Sektor wisata dan ekonomi yang ditata dengan sangat baik, padahal kita memiliki kondisi geografis yang sama, menghasilkan kekayaan alam yang sama seperti Kelapa Sawit, Cokelat, Manggis, Dukuh, Semangka dan aneka ragam buah yang mudah ditemui di Indonesia tapi dikemas lebih modern di negara mereka. Belum lagi pusat pelayanan kesehatan, seperti “Hospital” dengan peralatan yang canggih dan pelayanan maksimal menjadikan mereka rujukan bagi warga Indonessia untuk memperoleh fasilitas kesehatan yang memadai. Maka tak heran mereka menjadi negara maju di wilayah Asia Tenggara setelah Singapura.

Terima kasih banyak kami haturkan kepada Ibu Dewi Anggrayni, Ph. D sebagai Kaprodi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Timnya sebagai panitia penyelenggara kegiatan Kolokium Internasional. Demikian pula dosen kami Dr. Hendri Tanjung, Ph. D dan Ibu Associate Professor Dr. Hj. Qurroh Ayuniyyah serta Dosen Prodi DPAI UIKA Bogor Ibu Associate Professor Dr. Santi Lisnawati Hafidzahumullahu Jami’an yang telah membersamai sejak kebarangkatan sampai kembali ke Tanah Air dengan selamat berikut bentuk caring dan sharing keilmuan selama ini. Pun kepada rekan-rekan seperjalanan baik dari sesama Prodi Desy, Prodi DPAI dan Prodi MKPI, ketulusan berbagi dan perkenalan singkat menambah jalinan ukhuwah baru dan semoga terus berlanjut. Jazakumullahu Khairan Wa Barakallahu Fiikum.

REFERENSI

1 Ringgit Malaysia ke Rupiah Indonesia Konversi MYR ke IDR dengan Nilai TukarTengah Pasar. Wise adalah Akun Internasional untuk Mengirim, Membelanjakan, dan Mengonversi Uang Seperti Orang Lokal. (n.d.). Https://Wise.Com/Id. Retrieved September 13, 2025, from https://wise.com/id/currency-converter/myr-to-idr-rate?amount=1, diakses pada Sabtu, 13 September 2025 Pukul 09.00 WIB.

Ab.Mastan, N. H. B. (2020). Soalan: “Kain Gujerat dan Rempah Merupakan Faktor Utama yang Menyumbang kepada Kemunculan Melaka sebagai Pusat Perdagangan Terkemuka di Asia Tenggara dalam Kurun Ke-15” Terangkah Sejauh Manakah Pandangan Ini Dapat Dipertahankan? APEX Universiti Sains Malaysia, November, 1–13.

Hardjowidjono, D. (1989). Kisah Runtuhnya Malaka (1511) Menurut Sumber-sumber Portugis. Humaniora, 1(1), 41–52. https://doi.org/https://doi.org/10.22146/jh.2222

Maryamah, Yuningsi, P., Mawarni, D., & Romadona, P. (2023). Sejarah kerajaan Malaka dan Keberhasilannya dalam Menyebarkan Agama Islam. Kalpataru: Jurnal Sejarah Dan Pembelajaran Sejarah, 9(2), 93–100. https://doi.org/https://doi.org/10.31851/kalp.v9i2.14544

Prinada, Y. (2021). Kerajaan Malaka: Sejarah, Pendiri, Letak, & Masa Jaya Kesultanan. Https://Tirto.Id. https://tirto.id/kerajaan-malaka-sejarah-pendiri-letak-masa-jaya-kesultanan-gbkN, diakses pada Sabtu, 13 September 2025 Pukul 08.00 WIB.

Rambe, Y. M. (2021). Aceh Dan Perdagangan Di Selat Malaka. Historia : Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah, 6(2), 94–101. https://doi.org/10.33373/hstr.v6i2.4981

Husnul Khatimah

*) Mahasiswa Program Doktor Ekonomi Syariah Universitas Ibn Khaldun Bogor.

Di Sudut Kota Santri, Penjara Suci Para Penuntut Ilmu Syar’i, Institut Muslim Cendekia (Dulunya bernama STIBA Ar Raayah)

Sukabumi, 17 September 2025.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |