TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Perwakilan Daerah Sultan Bachtiar Najamudin mengatakan lembaganya mempunyai sejumlah opsi yang akan diusulkan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk merespons usulan pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Sultan memberi sinyal bahwa lembaganya merespons positif usulan tersebut. Pertimbangannya, biaya pemilihan kepala daerah secara langsung yang mahal.
“DPD sudah punya banyak bahan. Salah satunya bagaimana melihat demokrasi kita yang makin hari makin mahal,” kata Sultan di Senayan, Jakarta, Selasa, 14 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senator asal Bengkulu ini mengatakan DPD akan menyampaikan opsi-opsi tersebut saat DPR mulai membahas omnibus law rancangan undang-undang politik. RUU itu akan menggabungkan Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Ia mengatakan DPD akan menyampaikan usulannya lewat daftar inventaris masalah (DIM) dan bahan-bahan lain ke DPR. Komite I DPD yang menangani urusan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, serta pembentukan daerah yang akan menyusun DIM tersebut. “(Usulan) ada di Komite I, terkait pilkada, evaluasi pilkada, dan lain-lain,” ujar Sultan.
Di samping itu, kata Sultan, DPD juga akan mengusulkan berbagai aturan perbaikan terhadap pelaksanaan pemilu maupun pemilihan kepala daerah. Ia menganggap perbaikan itu penting karena banyak ketentuan dalam undang-undang yang sudah usang.
Ide pemilihan kepala daerah lewat DPRD diungkapkan oleh Presiden Prabowo Subianto, bulan lalu. Ketua Umum Partai Gerindra ini mengatakan sistem pemilihan kepala daerah lewat DPR lebih efisien dan mampu menekan banyak biaya dibandingkan pilkada langsung.
“Sekali memilih anggota DPR-DPRD, ya, sudah DPRD itu lah (yang) memilih gubernur, bupati-walikota,” kata Prabowo di acara puncak perayaan hari ulang tahun ke-60 Partai Golkar di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Kamis, 12 Desember 2024.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menguatkan usulan Presiden Prabowo tersebut. "Saya sependapat tentunya. Kami melihat sendiri bagaimana besarnya biaya untuk pilkada," kata mantan Kepala Polri ini di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat pada 16 Desember 2024.
Tito mengatakan pilkada langsung mengakibatkan terjadinya kekerasan di sejumlah daerah. Salah satu opsi untuk mengatasinya, yaitu lewat pelaksanaan pilkada asimetris, yaitu kepala daerah dipilih oleh DPRD. Pilkada asimetris merupakan sistem yang memungkinkan pelaksanaan pilkada yang berbeda di setiap daerah karena adanya perbedaan karakteristik maupun kekhususan dalam aspek administrasi dan budaya.
Agenda untuk menghidupkan kembali pilkada lewat DPRD pernah mengemuka pada 2014 lalu. Saat itu, Indonesia baru satu dekade melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung. DPR dan eksekutif mengesahkan perubahan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Isinya, mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD.
Partai Gerindra dan lima partai politik lainnya di Koalisi Merah Putih –koalisi pendukung Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa di pemilihan presiden 2014— mendukung perubahan sistem pilkada tersebut. Namun, di ujung masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang membatalkan perubahan undang-undang tersebut, serta mengembalikan sistem pilkada langsung.
Usulan Prabowo tersebut menuai penolakan masyarakat sipil dan kalangan kampus. Mereka rata-rata menilai pilkada langsung masih lebih baik dibandingkan pilkada lewat DPRD. Pengajar hukum tata negara pada Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah Castro mengatakan usulan Prabowo tersebut merupakan upaya membajak hak politik dan partisipasi publik. Ia mengatakan sistem pemilihan langsung justru bisa memberikan hukuman kepada kepala daerah yang tidak bekerja sesuai dengan kehendak publik.
“Usulan itu sangat tidak logis dalam skema politik seperti sekarang,” kata Herdiansyah. “Tetapi kemudian justru ingin dikembalikan ke proses di DPRD.”
Mantan Komisioner KPU, Hadar Nafis Gumay, mengatakan ide pemilihan kepala daerah kembali ke DPRD bertentangan dengan konstitusi. Hadar mengingat ketika DPR dan eksekutif bersepakat untuk mengubah sistem pilkada dari DPRD ke pemilihan langsung. Salah satu pertimbangannya, karena terjadi jual-beli suara partai politik maupun anggota DPRD saat pemilihan kepala daerah di parlemen.
“Salah satu faktor dulu kenapa mau diubah karena banyak permainan uang. Itu gelap sama sekali. Rakyat betul-betul tidak bisa mengikuti dan mengetahui proses pemilihan di DPRD,” kata Hadar.
Di samping itu, kata dia, ada gap antara aspirasi rakyat dan keinginan anggota DPRD maupun partai politik. Sehingga keinginan rakyat tentang calon kepala daerah kerap berbeda dengan kehendak anggota Dewan.
Hendrik Yaputra dan Alfitria Nefi berkontribusi pada artikel ini.