INFO TEMPO - Upaya penanggulangan terorisme di Tanah Air terus menunjukkan tren positif. Hal ini menjadi pencapaian penting dalam penegakan hukum terkait terorisme sepanjang 2024. Tidak adanya kematian dalam operasi terhadap para pelaku terorisme menjadi prestasi yang layak diapresiasi dan menjadi contoh untuk penegakan hukum yang lebih humanis.
Kelompok Ahli Bidang Hukum Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, pencapaian ini mencerminkan pendekatan yang lebih profesional dan berorientasi pada hak asasi manusia (HAM). “Yang membuat saya senang sekali adalah dalam konteks penegakan hukum, tahun 2024 ini tidak ada kematian terhadap para teroris. Dan itu menjadi satu hal yang patut diacungi jempol,” ujar Harkristuti pada pernyataan pers akhir tahun 2024 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada Senin, 23 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Catatan manis dalam penegakan hukum ini juga sejalan dengan peningkatan peringkat dalam Global Terrorism Index (GTI). Indonesia berhasil naik dari ranking 24 ke peringkat 31 dalam GTI 2024, masuk dalam kategori negara dengan dampak rendah terhadap terorisme (low impacted). Hal ini menunjukkan penurunan signifikan dari kategori dampak menengah (medium impacted) pada tahun sebelumnya.
Lebih lanjut, Harkristuti menyampaikan pentingnya media dalam mendukung keberhasilan penegakan hukum melalui pemberitaan yang bertanggung jawab. Dia meminta media untuk menghindari narasi yang dapat memicu aksi tiruan atau copycat.
“Bagaimana narasi pemberitaan juga berhubungan dengan pelaporan yang berkaitan dengan terorisme tetapi secara bertanggung jawab dan tidak menimbulkan keinginan untuk meniru apa yang dilakukan oleh para teroris,” kata Harkristuti Harkrisnowo. “Buat saya, ini penting sekali terutama bagi generasi muda yang tidak tahu banyak tentang sejarah terorisme di Indonesia.”
Peran media dalam menyebarkan peaceful journalism atau jurnalisme yang mendorong kedamaian juga menjadi upaya yang perlu didukung. Langkah ini, , Harkristuti menambahkan, menjadi penting untuk membangun narasi positif yang mengedukasi masyarakat tentang bahaya terorisme, radikalisasi, dan pentingnya toleransi.
Selain itu, Harkristuti menekankan perlunya edukasi yang lebih sederhana dan mudah dipahami terkait istilah-istilah terorisme seperti radikalisasi, deradikalisasi, dan kontra radikalisasi. Menurut dia, frasa tersebut kurang populer sehingga media perlu menyampaikannya dengan cara yang tepat. “Ini mungkin istilah-istilah yang tidak begitu familiar buat masyarakat, dan teman-teman media itu nanti bisa menyampaikannya dengan bahasa yang lebih tepat. Tidak terlalu akademis, tapi mudah ditangkap oleh masyarakat,” tambahnya.
Dalam konteks ini, Harkristuti juga menggarisbawahi perlunya melawan hoaks, misinformasi, dan disinformasi yang dapat memicu tindakan ekstremisme. Media memiliki peran strategis untuk menyampaikan informasi yang akurat dan mencegah penyebaran berita palsu yang dapat merusak stabilitas keamanan nasional. "Yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana memerangi hoaks, misinformasi, dan disinformasi. Ini sekarang bukan hanya PR teman-teman dari Komdigi. Itu peran teman-teman media luar biasa, karena adanya misinformasi, disinformasi, dan hoaks, fake news, bisa menjadi salah satu pemicu kegiatan-kegiatan yang tidak kita inginkan," kata dia.
Keberhasilan Indonesia dalam menerapkan pendekatan humanis pada penegakan hukum terorisme tidak lepas dari peran strategis BNPT dalam mengkoordinasikan berbagai pihak. Dengan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, Kepala BNPT, Komisaris Jenderal Polisi Eddy Hartono menyatakan, BNPT tidak hanya berperan dalam koordinasi, namun juga melaksanakan berbagai program pencegahan yang melibatkan kementerian, lembaga, dan masyarakat. Pendekatan ini sejalan dengan upaya memperkuat kesiapsiagaan nasional dan kontra-radikalisasi di berbagai sektor.
“Kami percaya bahwa pencegahan adalah kunci utama. Oleh karena itu, BNPT terus memperkuat kerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait, termasuk dalam menyusun rencana aksi daerah (RAD) di setiap provinsi,” kata Eddy. Rencana ini bertujuan memperkuat kapasitas pemerintah daerah dalam menangani ancaman radikalisme dan terorisme. (*)