Pendapat UMKM Betawi Menyongsong 5 Abad Jakarta

14 hours ago 5

INFO NASIONAL – Ratusan pengusaha usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berjualan di sekitar bantaran Situ Babakan. Pemerintah Provinsi Jakarta menetapkan kawasan dengan luas sekitar 289 hektare itu sebagai Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan -menggunakan kata “setu”, bukan “situ”, sesuai logat penduduk setempat. Menurut para pedagang dan pengunjung, kawasan tersebut terus mengalami pembenahan, sesuai dengan semangat kota global yang usianya sebentar lagi menginjak lima abad.

Dari ratusan pedagang di telaga itu, ada lima pengusaha UMKM yang menjajakan makanan khas Betawi, mendapat lokasi khusus di dalam kawasan Unit Pengelola Kawasan Perkampungan Budaya Betawi (UPK PBB) Setu Babakan. Di dalam kawasan UPK PBB inilah terdapat Museum Betawi, Amphitheater yang kerap jadi tempat pementasan seni dan budaya Betawi, serta percontohan rumah adat Betawi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami tidak menyewa tempat, tapi diberi secara gratis oleh UPK PBB Setu Babakan,” kata Mayang Diah, penjual es selendang mayang, saat berbincang dengan Info Tempo, Selasa, 24 Desember 2024.

Usaha ini sesungguhnya milik keluarga suami, Hafidh, yang jadi generasi ketiga pedagang es selendang mayang di selatan Jakarta. “Mungkin engkong buyut mulai dagang tahun 1950-an,” ucap Mayang menerka-nerka. Dia hanya ingat, mulai meneruskan usaha ini sejak 2008. “Kami semula menjual es di Tanjung Barat, lalu mencoba berdagang di bantaran Setu Babakan, membawa dagangan pakai motor, akhirnya bisa semakin dikenal,” kata dia.

Mayang sangat berterima kasih kepada Pemprov Jakarta, terutama UPK PBB Setu Babakan, yang telah membantu usahanya berkembang pesat. Pertama, dapat bergabung dengan Jakpreneur, sebuah wadah pengembangan UMKM milik Pemprov Jakarta, sehingga legalitas usaha dapat dimiliki secara gratis. “Alhamdulillah segala perizinan aman, pelatihan juga sering,” tutur Mayang.

Berkat UPK PBB Setu Babakan pula usaha es selendang mayang ini menarik minat para pejabat pemerintahan. “Dulu Pak Sandiaga Uno ikut promosiin es kita, jadi sekarang ngetop,” ujar perempuan dengan tiga anak ini. Sejak itu, pesanan mengalir dari berbagai perusahaan, hotel, maupun kantor pemerintahan. “Tadi malam kita dapat pesanan dari Bursa Efek Indonesia.”

Karena itu, ia menilai Jakarta selama beberapa tahun terakhir semakin baik, semakin perhatian kepada pengusaha UMKM. “Alhamdulillah dengan semua bantuan ini, saya bisa menyekolahkan anak sampai lulus. Sekarang yang paling besar baru selesai sekolah perawat,” ujarnya.

Mutia Maemun, penjual gado-gado Betawi, tidak mendapat limpahan bantuan sederas Mayang. Namun, dia mengalami sebagai warga Jakarta yang tinggal di perkampungan dapat terlibat dengan program-program kesejahteraan lingkungan. “Nanti sore saya mau kumpul, di tempat saya ada kelompok tani,” ujar perempuan yang tinggal di Cipedak, Jagakarsa. Lahan untuk bertani itu berada di salah sudut kawasan Rukun Warga (RW). “Pakai sistem hidroponik aja, tapi lumayan warga bisa panen sayuran.”

Mutia juga tergabung dalam Jakpreneur dan mendapat bantuan pengurusan legalitas usaha hingga lengkap, pun gratis. “Lengkap dari mulai NIB, IRT, Halal, sampai HKI (merek). Keluar izinnya juga cepat, aman deh semua,” ucap dia. Bahkan, selain berjualan di kawasan UPK PBB Setu Babakan, Mutia juga kerap diajak ikut bazar di lingkungan pemerintahan. “Ini bukti perkembangan Jakarta memang pesat. Pemerintahnya semakin perhatian dengan UMKM, urus izin usaha mudah. Situ Babakan juga sekarang semakin bagus, lengkap ada museum, rumah adat, bisa nonton lenong, banyak deh,” tutur perempuan yang bisa disapa Mpok Muti.

Anggota Jakpreneur lainnya, Sumarni yang berdagang laksa Betawi, merasakan bantuan serupa sehingga usahanya bisa langgeng. “Saya mulai dagang sejak umur 21 tahun, belum menikah, sampai sekarang udah beranak, udah 48 tahun,” ucapnya.

Sebagai warga lokal yang tinggal dekat Situ Babakan, perempuan yang dikenal dengan panggilan Mpok Encum ini, menjadi saksi hidup perubahan Jakarta, setidaknya di kawasan tersebut. “Semakin bagus, rapi, tertata. Dulu di tahun 2000 awal masih semrawut, sekarang lebih sedep dipandang,” kata dia sambil memberi tanda jempol. “Saya kan tinggal di wilayah barat bantaran situ, dulu becek banget, tapi sekarang jalannya udah alus.”

Perubahan infrastruktur yang semakin bagus di Jakarta turut diakui Zainudin, penjual kerak telor Betawi. “Sekarang jalanan semakin bagus, lebar. Jembatan penyeberangan juga banyak,” ujar pedagang yang sejak kecil tinggal di kawasan Mampang, Jakarta Selatan.

Ia ingat di tahun 1980-an jalan raya sepanjang Buncit dan Mampang sudah lebar, namun jembatan penyeberangan orang (JPO) masih jarang sehingga menyulitkan pejalan kaki. Selain itu, perempatan Mampang juga kerap macet, berbeda dengan sekarang semenjak terbangun jalur bawah tanah atau underpass.

Sedangkan sebagai pengusaha UMKM, pria yang lazim dipanggil Bang Udin ini, juga terbantu semenjak kehadiran Jakpreneur. “Jadi banyak bazar dan kita diajak ikut,” ujarnya. Kendati begitu, ia menilai bantuan pembiayaan berupa kredit usaha rakyat (KUR) tidak terlampau membantu mengembangkan usahanya. “Saya sudah pernah pinjam, tapi sekarang malas karena enggak terlalu berpengaruh. Lebih baik dapat bantuan pemasaran, karena belakangan ini dagangan lebih sepi, entah mungkin karena harga-harga naik terus jadi jarang yang beli.”

Pedagang toge goreng Betawi, Anda, juga mengalami penurunan pembeli. Guna menyiasatinya, setelah UPK PBB Setu Babakan tutup pada pukul 16.00, ia terpaksa mendorong gerobaknya berkeliling ke kampung-kampung meneruskan berdagang. “Terpaksa harus begitu, saya juga enggak mengerti kenapa semakin sepi, padahal libur Nataru (Natal dan Tahun Baru) sudah mulai, kan?” ujarnya.

Namun kekhawatiran Anda -nama yang singkat sesuai KTP—bukan selalu tentang dagangannya. Pria kelahiran Bogor ini rajin mengikuti perkembangan situasi melalui berita di televisi, dan resah melihat banjir rob di Jakarta Utara.

“Jadi salah satu bukti perkembangan Jakarta yang pesat, mungkin. Penduduknya jadi padat, tanahnya keberatan, akhirnya jadi kalah tinggi sama laut,” tutur dia sambil terbahak. “Saya pernah tinggal di Jakarta Utara di awal 2000-an, masih banyak lahan kosong dan kebon, tetapi sekarang saat main lagi ke sana, padat banget sama rumah,” ucapnya. (*)

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |