Peneliti UII Soroti Fenomena Ekonomi Global Pasca Tarif Impor Trump

6 hours ago 6

DOSEN dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII) Listya Endang Artiani menyoroti fenomena ekonomi setelah Presiden Amerika Serikat atau AS Donald Trump memberlakukan tarif impor tinggi terhadap sejumlah negara. Listya mengatakan kebijakan tarif Trump tersebut berkembang menjadi lebih dari sekadar manuver ekonomi jangka pendek.

“Ia menjelma menjadi sinyal dari perubahan mendalam dalam cara Amerika memandang peran dan kepemimpinannya di dunia,” kata Listya dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Selasa, 20 Mei 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Listya, awalnya banyak yang menganggap kebijakan tersebut hanya sebagai taktik negosiasi dagang. Saat itu, tarif dianggap sekadar alat tekanan untuk membuka ulang perjanjian perdagangan yang dianggap merugikan AS. Retorika populis dan jargon “America First” dijadikan pembenaran atas langkah proteksionis yang tidak lazim dalam tatanan perdagangan bebas global.

Namun seiring berjalannya waktu, kata Listya, tarif Trump tidak lagi berdiri sendiri. Melainkan menjadi bagian dari paket kebijakan yang menandai pelepasan diri negara adidaya tersebut dari multilateralisme atau kerja sama kelompok negara bidang ekonomi dan tata aturan global yang dibangun sejak Perang Dunia II.

“Ini termasuk penarikan dari kemitraan multilateral seperti TPP (Trans-Pacific Partnership), penolakan terhadap komitmen lingkungan seperti Paris Agreement, hingga perlakuan transaksional terhadap aliansi pertahanan seperti NATO,” kata dosen di Fakultas Bisnis dan Ekonomika di UII, Yogyakarta ini.

Listya mengatakan, kebijakan tersebut bukan hanya menciptakan ketegangan perdagangan, tetapi juga mengguncang struktur kepercayaan internasional terhadap stabilitas sistem global. Menurut Listya tidak ada jaminan kepemimpinan AS akan bersandar pada konsistensi, keterbukaan, dan tata kelola internasional.

“Ketika negara sebesar AS mulai menggunakan kekuatan ekonominya secara sepihak untuk menekan mitra dagang, tidak ada jaminan bahwa kepemimpinan AS akan bersandar pada konsistensi, keterbukaan, dan tata kelola internasional yang dapat diprediksi,” katanya.

Menurut Listya, bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, dampak perang tarif bukan hanya soal penurunan harga ekspor, pemutusan hubungan kerja atau PHK di sektor industri, atau depresiasi nilai tukar. Ini adalah tanda dari arus pergeseran geopolitik yang lebih besar, sebuah transisi menuju dunia yang lebih multipolar.

“Di mana kekuasaan ekonomi dan politik tidak lagi terkonsentrasi pada satu negara adidaya, melainkan tersebar di antara berbagai blok dan aktor baru yang tengah mencari format baru tatanan global,” kata dia.

Dari Manuver Populis ke Strategi Negara

Listya mengatakan, tarif impor yang diluncurkan Donald Trump pada mulanya merupakan ekspresi khas dari semangat populisme ekonomi. Kampanye “America First” secara gamblang menolak globalisme dan mengklaim bahwa sistem perdagangan multilateral telah merugikan rakyat dan industri Amerika.

Dengan dalih melindungi manufaktur domestik dan mengurangi defisit perdagangan, Trump mengarahkan serangan tarif terhadap negara-negara dengan surplus dagang tinggi terhadap AS, termasuk Cina, Vietnam, Jerman, hingga negara berkembang seperti Indonesia. Bahkan sekutu dekat seperti Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa tak luput dari kebijakan ini.

Namun yang lebih penting dari retorikanya adalah efek jangka panjangnya. Kebijakan tarif tidak berhenti saat Trump meninggalkan Gedung Putih. Pemerintahan Joe Biden, yang pada awalnya diperkirakan akan membalikkan banyak kebijakan Trump , justru mempertahankan sebagian besar tarif impor — terutama terhadap Cina.

Bahkan, kata Listya, Biden memperkuat arah proteksionisme melalui legislasi seperti CHIPS and Science Act dan Inflation Reduction Act. Kedua kebijakan tersebut menandai dukungan negara terhadap industri strategis dalam negeri—semikonduktor, energi hijau— dengan tujuan memperkuat posisi geopolitik dan rantai pasok nasional.

“Ini menandakan bahwa tarif dan proteksionisme bukan lagi sekadar instrumen politik sesaat, melainkan telah menjadi bagian dari doktrin ekonomi baru Amerika,” katanya.

Lebih lanjut, Listya mengatakan perubahan ini mencerminkan pergeseran paradigma, dari liberalisme perdagangan ke realisme industri, dari ekonomi pasar terbuka ke kebijakan strategis berbasis keamanan nasional. Tarif berubah wujud menjadi alat untuk menyusun ulang peta kekuatan industri global, mendorong relokasi manufaktur dari Asia ke AS, menciptakan blok ekonomi baru, serta membangun kembali kapasitas produksi nasional sebagai elemen kedaulatan.

“Dengan kata lain, kebijakan tarif Trump yang dulunya dianggap impulsif kini menjadi kerangka kerja struktural yang diadopsi bipartisan, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari reposisi strategis Amerika Serikat di dunia yang semakin kompetitif,” katanya.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |