Penghapusan Kuota Impor Dinilai Tak Serta Merta Memutus Pemburu Rente

1 day ago 11

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menginginkan Presiden Prabowo Subianto menerapkan kebijakan tarif impor. Alasannya, kebijakan berbasis tarif dinilai lebih inklusif dan bisa menghindari transaksi tak resmi antara importir dan pemerintah. “Ketika pemerintah mengubah rezim kuota impor menjadi rezim tarif sebetulnya yang terjadi transparansi, karena dengan tarif siapapun akan bisa mengimpor sepanjang dia membayar tarif yang ditentukan,” kata Khudori saat dihubungi, pada Ahad, 13 April 2025.

Menurut Khudori, wacana penghapusan kuota impor tidak serta merta memuluskan jalan para importir lantaran ada persyaratan yang mesti dipenuhi. Ia mencontohkan para pengimpor bawang yang harus mendapatkan rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) sebagai syarat surat persetujuan impor (SPI) dari Kementerian Pertanian. Pelaku usaha yang ingin mendapat RIPH harus wajib tanam sebanyak 5 persen dari kuota yang mereka ajukan.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada juga transaksi yang harus dibayarkan para importir untuk mengantongi perizinan impor. “Itu enggak lepas dari kepentingan cuan juga di situ, ada proses perburuan rente yang diperebutkan di internal kementerian,” kata dia. 

Selain membuat para importir meski merogoh kantong untuk membayar fee tambahan, budaya transaksi tak resmi juga bisa melahirkan bias dalam pemberian izin impor. “Pihak-pihak tertentu difavoritkan, pihak-pihak yang lain disingkirkan,” ujar Khudori.

Menurut dia, budaya transaksi di bawah meja akan tetap terjadi sekalipun keran impor dibuka apabila tidak ada instrumen pengendali. “Apa itu instrumennya? Tarif salah satunya.” Bagi Khudori, selain membawa keadilan dalam proses izin impor, kebijakan tarif juga memberikan pengaruh positif untuk negara. Musababnya, negara bisa mendapatkan pendapatan tambahan dari biaya impor. 

Dalam proses impor bawang putih, penelusuran Tempo mengungkap sejumlah kejanggalan dalam pengalokasian RIPH dan SPI pada tahun ini. Dari 87 pelaku usaha penerima RIPH, tak ada satu pun yang merupakan pemain lama. Nama-nama dalam daftar itu semuanya baru. Perusahaan-perusahaan baru ini diduga merupakan perusahaan cangkang milik segelintir importir yang mendapat privilese dari pemerintah.

Jaya Sartika, anggota Perkumpulan Pengusaha Bawang dan Sayuran Umbi Indonesia (Pusbarindo), tahun ini tak memperoleh jatah impor bawang putih. Pelaku usaha yang telah sepuluh tahun berkecimpung di bisnis importasi produk hortikultura itu telah mengajukan permohonan RIPH pada 8 Januari 2025. Tapi pengajuan tersebut ditolak. "Alasannya, kuota sudah penuh," tuturnya kepada Tempo, Senin, 17 Maret 2025.

Sejumlah importir lama yang ditemui Tempo mengungkapkan cerita yang serupa dengan Jaya dan Herry. Menurut para importir, ada sekitar 300 pelaku usaha yang mengajukan RIPH. Permohonan ini sempat diproses dalam sistem. Mereka mendapat nomor urut pengajuan di atas 90 dan 100. Tapi tak ada satu pun dari pengajuan itu yang dikabulkan Kementerian Pertanian.

Dari pengajuan seorang importir yang dilihat Tempo dalam portal Sistem Nasional Neraca Komoditas, Kementerian Pertanian menyatakan permohonan tidak dapat diproses lebih lanjut. "Rencana kebutuhan 2025 sudah terpenuhi sesuai dengan volume neraca komoditas (NK) hasil rapat koordinasi terbatas sebanyak 550 ribu ton," demikian bunyi pernyataan di portal itu.

Kisruh importasi bawang putih bukan cerita baru. Dari tahun ke tahun, jatah impor yang diterima para importir lama kian berkurang. Para importir lama kerap mendapati SPI mereka terbit di bawah RIPH. Pun izin impor itu sering kali keluar terlambat.

Tapi baru tahun ini para importir lama tak mendapatkan akses memperoleh RIPH. Mereka mengatakan importasi kini telah dikondisikan sejak proses di Kementerian Pertanian. Walhasil, para importir yang tak kebagian jatah diminta membeli kuota dari perusahaan-perusahaan baru ini. Mahar yang diperlukan senilai Rp 7.000-8.000 per kilogram.

Han Revanda berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Read Entire Article
Pemilu | Tempo | |