TEMPO.CO, Jakarta - Akibat perang dagang yang memanas antara Amerika Serikat atau AS dan Cina setelah pengenaan tarif impor yang tinggi, Cina kemudian mengumumkan pada Jumat, 4 April 2025 bahwa pembatasan ekspor sejumlah mineral tanah jarang ke Amerika Serikat. Kebijakan ini memengaruhi magnet motor untuk AS yang 90 persen dari Cina.
Dikutip dari The Verge, jika pabrik-pabrik di Detroit dan lokasi lainnya kehabisan mineral tanah jarang yang kuat, hal ini bisa menghambat proses perakitan mobil dan produk-produk lain yang bergantung pada motor listrik yang membutuhkan magnet tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perusahaan-perusahaan memiliki stok cadangan yang berbeda-beda untuk menghadapi situasi darurat semacam ini, sehingga sulit untuk memprediksi durasi gangguan produksi.
Motor magnet yang terdampak dapat ditemukan pada mobil listrik, pesawat tak berawak, robot, rudal, pesawat ruang angkasa, serta digunakan untuk mengatur kemudi pada mobil bermesin bensin, misalnya.
Dinukil dari IEEE Spectrum, inisiatif untuk upaya jangka panjang di laboratorium nasional AS dalam mengembangkan magnet permanen dan desain motor yang tidak menggunakan elemen tanah jarang. Selain itu, dalam sebuah kolaborasi yang diumumkan pada November lalu, General Motors dan Stellantis bekerja sama dengan perusahaan rintisan, Niron Magnetics, untuk mengembangkan motor EV yang menggunakan magnet permanen bebas tanah jarang dari Niron.
Produsen mobil lain, Tesla, mengejutkan banyak pengamat pada Maret tahun lalu ketika seorang pejabat senior menyatakan bahwa "unit penggerak berikutnya" perusahaan, yang akan berbasis pada magnet permanen, tidak akan menggunakan elemen tanah jarang sama sekali. Di Eropa, sebuah konsorsium bernama Passenger, yang terdiri dari 20 mitra industri dan akademisi, juga tengah mengembangkan magnet permanen bebas tanah jarang untuk kendaraan listrik.
Dampak Perang Dagang ke AS
CEO JP Morgan Chase Jamie Dimon, pada hari Rabu mengungkapkan bahwa ia memperkirakan resesi akan terjadi akibat tarif yang diterapkan oleh Presiden Trump yang mengguncang pasar keuangan global. Pernyataan Dimon muncul di tengah penurunan tajam pasar obligasi, yang beberapa analis sebut sebagai "penjualan Amerika."
Trump memenuhi janjinya untuk menerapkan tarif balasan terhadap sekitar 60 negara pada hari Rabu, yang menambah tarif dasar 10 persen yang mulai diberlakukan oleh AS pada Sabtu lalu. Namun, menurut Axios, belum ada bukti bahwa AS saat ini sedang mengalami resesi.
Dimon dalam wawancara dengan Maria Bartiromo dari Fox Business menyatakan bahwa resesi adalah "kemungkinan yang bisa terjadi." Pendapat Dimon didukung oleh CEO BlackRock, Larry Fink, yang mengatakan bahwa sebagian besar CEO akan setuju bahwa resesi sudah terjadi.
Namun, Goldman Sachs memprediksi bahwa AS akan terhindar dari resesi, meskipun hanya dengan selisih tipis. Tim ekonomi Goldman Sachs dikenal cukup akurat dalam beberapa tahun terakhir, dan mereka memperkirakan pertumbuhan PDB sebesar 0,5 persen tahun ini.
Perkiraan tersebut mengasumsikan tarif naik sebesar 15 persen, namun masih kurang dari kenaikan 20 persen yang diberlakukan pada hari Rabu. Jika tarif tersebut tetap berlaku, Goldman Sachs memperkirakan resesi akan terjadi, meskipun dengan dampak yang relatif ringan.
Perang dagang antara AS dan Cina mencapai tingkat eskalasi yang belum pernah terjadi minggu ini. Namun, perang dagang ini sebenarnya sudah berlangsung sejak masa jabatan pertama Trump, seperti yang dilaporkan DW. Pada Januari 2018, Pemerintahan Trump memberlakukan tarif impor terhadap Cina yang langsung dibalas oleh Beijing.
Meskipun kedua negara mencapai kesepakatan pada 2020, sebagian besar tarif tetap berlaku hingga eskalasi terbaru. Pada 2024, AS mengimpor barang dan jasa senilai sekitar $440 miliar dari Cina, sementara Cina hanya mengimpor sekitar $145 miliar dari AS. Ini menunjukkan bahwa Cina memiliki surplus perdagangan yang sangat besar dengan AS, mengekspor jauh lebih banyak daripada mengimpor barang-barang dari AS.
Pada 3 Februari 2025, hanya dua minggu setelah dilantik, Presiden Trump mengumumkan pemberlakuan tarif tambahan sebesar 10 persen untuk semua barang dari Cina. Tarif ini ditambahkan pada berbagai tarif yang sudah dikenakan selama pemerintahan Trump pertama (2017-2021) dan pemerintahan mantan Presiden Joe Biden (2021-2025).
Ida Rosdalina ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Top 3 Dunia: AS Naikkan Tarif Impor dari Cina 145 Persen