TEMPO.CO, Jakarta - Tak banyak sineas Indonesia yang berani bercerita tentang wajah kelam bangsanya sendiri. Pengepungan di Bukit Duri, karya ke-11 Joko Anwar, adalah pengecualian. Berlatar Jakarta 2027, film ini secara terang-terangan menggambarkan distopia dari kekerasan struktural, ketegangan rasial, hingga gagalnya sistem pendidikan. Joko Anwar bahkan menyisipkan trigger warning atau peringatan konten di awal film—karena adegan kekerasan, trauma, hinggaa ujaran kebencian ditampilkan secara gamblang.
Pilihan Editor: Joko Anwar Ingin Pengepungan di Bukit Duri Jadi Ruang Diskusi
Pengepungan di Bukit Duri: Peringatan untuk Indonesia Saat Ini
Joko Anwar, dalam filmnya, tak perlu menyebutkan secara eksplisit peristiwa sejarah yang dialami bangsa ini puluhan tahun silam. Disuguhkan dalam Pengepungan di Bukit Duri, kerusuhan, diskriminasi, hingga kebencian terhadap etnis Tionghoa seolah menjadi pengingat dari tragedi-tragedi besar yang pernah dialami Indonesia. Antara lain; pembantaian 1965 ketika rasisme anti-Tionghoa mencapai puncaknya, hingga kerusuhan Mei 1998.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti mengutip kegagalan kolektif bangsa dalam merekonsiliasi sejarah, film ini seolah memberikan gambaran terburuk yang akan terjadi dalam waktu dekat jika sistem pendidikan, pemerintahan, dan masyarakat terus abai. Termasuk menjadi kritik vokal terhadap ketegangan kondisi sosial-politik Indonesia sekarang.
Budaya Menormalisasi Kekerasan
Film dibuka dengan suara pemberitaan yang melaporkan kerusuhan di Jakarta. Menyuguhkan suasana kelam dan jalanan yang mencekam. Umpatan seperti ‘b*bi’ hingga ‘cina’ menggema dari setiap sudut kota. Dari kekacauan itu, muncul Edwin (Morgan Oey), seorang guru keturunan Tionghoa, tengah mencari keponakannya yang hilang. Pencarian membawanya ke sebuah sekolah penuh siswa bermasalah.
Pengepungan di Bukit Duri menggambarkan institusi pendidikan sebagai pangkal masalah: SMA Duri, tempat para remaja ‘buangan’ yang tumbuh dalam sistem rusak—keluarga disfungsional, pendidikan yang gagal, dan masyarakat yang menormalisasi kekerasan. Sekolah semestinya ruang pembentukan karakter, tapi dalam realitas yang digambarkan Joko Anwar, sekolah telah menjadi instrumen kekerasan struktural. Profesi guru kehilangan hak dan wibawanya. Yang tumbuh justru anak-anak penuh amarah, karena menyerap kekerasan dari sekelilingnya.
Ketika murid-murid di SMA Duri memperlakukan kekerasan sebagai bagian dari identitas sosial mereka, film ini juga menggambarkan bahwa akar kekerasan telah ditanamkan sejak lama. Tak mengherankan jika Jefri, diperankan begitu memukau oleh Omara Esteghlal, muncul sebagai sosok remaja yang lekat dengan kekacauan. Alih-alih menghadirkan horor supernatural seperti karya-karya Joko Anwar lainnya, ketegangan dalam Pengepungan di Bukit Duri muncul dari isu sosial yang familiar di Tanah Air. Kekerasan dihadirkan secara visual lewat adegan penyiksaan, perundungan, hingga ujaran kebencian.
Kualitas Akting Para Pemeran
Akting Morgan Oey sebagai Edwin menandai salah satu penampilan terbaiknya di layar lebar. Edwin tak tampil heroik meskipun karakter utama, melainkan menggambarkan sosok guru yang manusiawi—merasakan takut, frustrasi, hingga mengandalkan insting bertahan hidup. Morgan, berhasil menyampaikan ketegangan psikologis dan rasa tertekan yang ingin disampaikan dalam konflik film.
Penampilan Omara Esteghlal sebagai Jefri—murid yang memicu kekacauan di SMA Duri juga tak kalah menarik. Lewat Omara, Jefri bukan sekadar pelaku kekerasan, tapi juga cerminan korban dari lingkungan yang membentuknya. Dalam beberapa adegan, sorot mata Jefri terlihat lebih berbicara ketimbang dialognya; ada amarah, dendam, sedih, hingga kehilangan.
Joko Anwar lebih banyak banyak menggaet talenta muda dalam karyanya kali ini. Di antaranya ada Endy Arfian, Fatih Unru, Satine Zaneta, Dewa Dayana, Florian Rutters, Faris Fadjar Munggaran, Sandy Pradana, Farandika, Raihan Khan, Sheila Kusnadi, Millo Taslim, hingga Bima Azriel. Dalam film ini, mereka juga tampil berani lewat banyaknya adegan aksi hingga kekerasan yang dilakukan.
Meski dikemas sebagai aksi thriller, Joko Anwar menyajikan Pengepungan di Bukit Duri dalam durasi 1 jam 58 menit sebagai karya yang tetap bisa dinikmati, sekaligus menjadi bahan diskusi. Tayang di bioskop mulai 17 April 2025, film ini digarap oleh Come and See Pictures bekerja sama dengan studio Hollywood, Amazon MGM Studios.